Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Tinggi Negara Mahkamah Agung (MA) mendukung rencana pendirian badan eksaminasi putusan pengadilan yang kini digagas oleh Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) untuk mengontrol putusan hakim yang banyak melukai rasa keadilan masyarakat.

"Dalam pertemuan internal di Mahkamah Agung, saya sampaikan kepada para hakim agung adanya rencana pendirian badan atau lembaga eksaminasi putusan hakim oleh para dekan fakultas hukum yang tergabung dalam APPTHI. Pada prinsipnya eksaminasi mereka mendukungnya," kata Anggota Hakim Agung Gayus Lumbuun, usai mengadiri peluncuran buku berjudul "Akuntabilitas Mahkamah Agung" di Jakarta, Senin.

Selama ini tidak ada lembaga resmi yang dapat mengeksaminasi putusan hakim. "Anggapan masyarakat selama ini menyebutkan hakim sebagai wakil tuhan di dunia terlalu berlebihan, karena hakim itu manusia biasa dalam memutuskan sesuatu bisa saja mengambil pertimbangan hukum yang keliru, karena itu perlu ada lembaga yang ikut mengujinya," kata Gayus, seraya menunjukkan adanya hakim yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap dari pihak yang bersidang.

Menurutnya, keberadaan lembaga itu kini cukup strategis dan mendesak dalam usaha mendorong putusan hakim yang "excellent", putusan hakim yang didasarkan atas pertimbangan norma hukum yang dipercaya masyarakat.

"Saat ini banyak masyarakat tidak percaya berbagai putusan hakim karena dinilai bertentangan dengan kehendak masyarakat luas," katanya.

Ia mencontohkan, ada putusan hakim pengadilan niaga tentang pailit terhadap perusahaan BUMN Tbk. Di suluruh dunia, jika ada perusahaan yang dipailitkan, harga sahamnya pasti jatuh. Namun di Indonesia, terjadi anomali, yakni saham perusahaannya tidak terjadi penurunan. "Hal itu terjadi keanehan karena para investor di pasar saham tidak lagi percaya dengan keputusan hakim niaga itu," katanya.

Di luar putusan niaga, juga masih banyak ribuan putusan yang dinilai masyarakat anomali. Apakah menyangkut lingkungan, pertambangan atau putusan sengketa korporasi. Putusan itu sulit dipercaya oleh masyarakat luas lantaran terjadinya anggapan putusan hakim tergantung dari siapa yang lebih berpengaruh.

"Bukan semata-mata mendasarkan pertimbangan hukum yang benar, karenanya, adanya keinginan melakukan eksaminasi putusan, khususnya putusan MA, tepat dan perlu didukung agar tidak terjadi putusan hakim yang bersifat jalanan," kata Gayus.


Telah dibuat tim

Dalam peluncuran buku yang berjudul "Akuntabilitas MA", editor Theo Yusuf Ms Wartawan Senior Antara, Ketua APPTHI Dr Laksanto Utomo, SH mengatakan, rencana pendirian lembaga eksasminasi sudah didukung lebih dari 150 perguruan tinggi fakultas hukum dari perguruan tinggi swasta nasional. Oleh karenanya, APPTHI saat ini telah membuat tim eksaminasi dan membagi ke dalam tiga zona.

Ketua APPTHI sebagai ketua timnya dengan anggota, Prof Dr Ade Saptomo (Dekan FH Universitas Pancasila), Prof Dr Faisal Santiago (Dekan FH Universitas Borobudur), Dr Akhmad Sudiro (Dekan FH Universitas Tarumanegara), Dr Edy Lisdiono dari Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang, Dr Sarif Nuh (Dekan Universitas Makasar), Dr Robert (STIH Manokwari) dan Dr Sulardi (Dekan Universitas Muhammadiyah Malang).

Selain itu, APPTHI juga akan mengajak mantan hakim agung seperti Prof Dr Tumpak, Prof Dr Bagir Manan dan mantan praktisi hukum lainnya agar masyarakat dapat menilai apakah putusan hakim tersebut menggunakan pertimbangan hukum yang benar.

Menjawab pertanyaan, Laksanto mengatakan, ide ini didasari atas keprihatinan para ahli hukum terhadap carut marut yang terjadi di tubuh MA.

"Adalah hal yang aneh jika lembaga peradilan tinggi, sebagai benteng terakhir pencari keadilan digeledah oleh KPK. Sesungguhnya lembaga Mahkamah Agung itu kini terancam runtuh, karena masyarakat luas tak lagi percaya akan putusan yang dikeluarkannya. Untuk mengembalikannya, pertama Presiden Joko Widodo membuat lembaga eksaminasi putusan, dan kedua ketua Hakim Agung tidak membiarkan para hakim berprilaku tidak profesional," katanya.

Pewarta: Theo Yusuf, Ms
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016