Jakarta (ANTARA News) - Teroris adalah kejahatan lintas negara yang perlu dilaksanakan penanggulangannya dan ini merupakan salah satu bagian yang menjadi tugas pokok TNI didalam pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang. Untuk mengatasi aksi terorisme ini diperlukan kerja sama semua instansi secara sinergis dan tidak bisa dilaksanakan secara individu dan berdiri sendiri.
 
Hal ini diutarakan Kepala Staf Umum Panglima TNI, Laksamana Madya TNI Didit Herdiawan, ketika menjadi pembicara pada Seminar Urgensi Revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Sebagai Upaya Pemerintah Dalam Menegakkan Kedaulatan dan Melindungi WNI, di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin. 

Seminar itu mengambil tema “Sinergitas Peran Komponen Bangsa Dalam Mengatasi Aksi Terorisme”, digagas Fraksi Golkar DPR dan Fraksi Hanura DPR, sebagaimana dalam pernyataan Pusat Penerangan TNI, diterima di Jakarta, Senin.
 
“Keberadaan terorisme itu memanfaatkan kelemahan-kelemahan kita, sehingga kita diharapkan bisa lebih meningkatkan sinergitas dengan komponen lain untuk mengatasi seluruh aksi-aksi terorisme yang berada diseluruh wilayah Indonesia,” kata Herdiawan. 
 
Dalam upaya pencegahan, kata dia yang mewakili Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, perlu diadakan Operasi Serbuan Teritorial untuk pencegahan dini, sehingga dapat mengetahui kegiatan-kegiatan yang menjurus aksi terorisme dengan memanfaaatkan pola operasi teritorial. 

Pasalnya, pelaksanaan operasi teritorial yang dilaksanakan selama ini sudah langsung menyentuh kebutuhan masyarakat dan ini salah satu bentuk yang diinginkan masyarakat dan bisa menjadi barometer untuk disalurkan ke unit pengumpul data intelijen. 
 
“Babinsa tidak bisa bekerja sendiri harus bekerjasama dengan aparat terkait, baik TNI maupun aparat-aparat terkait dilapangan. Oleh karena itu, seluruh unsur TNI perlu diberdayakan dalam penanganan ancaman terorisme sejak dini,” tutur Herdiawan.
 
“Kerjasama TNI dan Polri yang sudah terjalin dengan baik selama ini patut ditingkatkan dan diperkuat peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme,” katanya.

Sementara itu, atas dasar argumen penegakan hukum, Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi Badrodin Haiti, menginginkan institusinya menjadi pemimpin dalam pemberantasan terorisme. Di mata penegak hukum, terorisme diklasifikasikan sebagai pelanggaran hukum pidana. 

Ini diatur dalam revisi UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sementara ada UU Nomor 34/2004 tentang TNI yang mengatur pemberantasan terorisme oleh militer, terkhusus pada pasal 6 dan 7 UU Nomor 34/2004 itu.

Bahkan Markas Besar TNI sudah memiliki Komando Operasi Khusus TNI yang terdiri dari pasukan elit kontra terorisme dan operasi-kontra operasi intelijen dari Detasemen Jala Mangkara TNI AL, Detasemen B-90 Bravo Komando Pasukan Khas TNI AU, dan Komando Pasukan Khusus TNI AD. 

Menurut sudut pandang kepolisian, sebagaimana dikatakan Haiti, secara institusi agen penindakan adalah Kepolisian Indonesia sehingga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam lingkup kerja pencegahan dan pemulihan.

Dia menyamakan keadaan yang sama dengan "susunan dan kedudukan" Badan Narkotika Nasional (BNN) yang di bawah koordinasi Kepolisian Indonesia sehingga BNN --kini dipimpin Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso yang sering membuat terobosan-- tidak bisa melakukan penegakan hukum.

"BNN di luar negeri tidak pernah melakukan penindakan hukum karena di bawah koordinasi kepala kepolisian setempat," ujar Haiti memberi argumen. Dia tidak mengungkap penegakan hukum yang dimaksud. Amerika Serikat memiliki Drugs Enforcement Agency yang mengurusi hal ini dan boleh menindak jaringan teroris. 

Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016