Sebagai ibu muda yang telah lama ditinggalkan suaminya entah ke mana, Diah (Rosa Winenggar) harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan anak laki-laki semata wayangnya.

 Keterbatasan ekonomi dan kewajiban segera membayar sewa kamar kontrakan mendorong Diah melakukan permainan seks tidak lazim dengan Jarwo (Yohanes Budyambara).

Ia menawarkan Jarwo korek api dengan harga per batang Rp10.000, agar pria berperawakan gendut itu bisa mengintip organ kewanitaannya di bawah kolong meja.

"Tapi ra entuk didemok (tetapi tidak boleh dipegang)", ujar Diah dalam logat Jawa yang kental.

Batang demi batang korek api dinyalakan Jarwo untuk bisa menikmati tampilan visual kelamin Diah. Demi bertahan hidup, perempuan itu harus mengesampingkan rasa malunya saat membiarkan bagian paling intim tubuhnya dilihat oleh laki-laki yang bukan suaminya.

Setelah empat batang korek habis dan Diah beranjak pergi, penonton berpikir permainan seks Diah dan Jarwo berakhir. Ternyata, sutradara membalik keadaan, masih "atas nama uang".

Giliran Jarwo yang meminta Diah melihat kemaluannya, dengan imbalan Rp60.000 sehingga genaplah uang Diah untuk membayar kontrakan.

Tidak dengan korek api yang cepat padam, Jarwo memberi Diah korek gas untuk mengintip kemaluannya selama tiga puluh detik.

Diah menyalakan korek tersebut di kolong meja, namun memejamkan matanya saat Jarwo mulai berhitung. Selama 20 detik  pertama ia bertahan untuk tidak melihat alat kelamin Jarwo.

Setiap adegan dalam "Prenjak" dibuat sangat alami dan sederhana, bahkan celetukan Diah dan Jarwo dalam bahasa Jawa "ngoko" terkadang mengundang tawa penonton.

Selama 12 menit, adegan-adegan menggelikan sekaligus banal tersaji di hadapan para penonton yang penasaran.

Siapa nyana ternyata sang sutradara mengantar penonton ke sebuah "ending" yang seketika memunculkan rasa pahit, getir.

Adegan akhir itu lah yang menurut sang sutradara Wregas Bhanuteja, menjadi alasan utama para juri kategori Semaine de la Critique Festival Film Cannes 2016 memilih filmnya sebagai pemenang.

"Wregas, film kamu sangat puitis dan sederhana. Dari awal kami menonton kami tertawa menikmati jokes dalam dialognya, tetapi saat melihat adegan si ibu memandikan anaknya kami sepakat, thats it. Ini pemenangnya," ujar Wregas menirukan ucapan salah satu juri Festival Film Cannes 2016.

Film dengan waktu pengambilan gambar selama dua hari dan satu minggu untuk proses editing itu berhasil mengalahkan sembilan film lain yang antara lain berasal dari Filipina, Prancis, Kanada, Brasil, dan Hungaria.

Penghargaan Leica Cine Discovery Prize yang diperoleh Wregas dan timnya mencatat sejarah baru dalam dunia perfilman Tanah Air.

Nyata
Film "Prenjak" diangkat dari pengalaman hidup seorang teman Wregas yang mengaku pernah membeli korek api yang dijajakan ibu-ibu penjual wedang ronde di alun-alun Yogyakarta sekitar tahun 1980-1990an, untuk bisa melihat kemaluan ibu itu.

"Cerita ini visualnya sangat terbayang dalam kepala saya, maka saya bertekad harus menuangkannya dalam sebuah film," kata Wregas.

Demi memberikan tampilan visual terbaik, alumnus Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta itu menggunakan pemeran pengganti (body double). Ia bekerjasama dengan dua orang model yang biasa dipotret tanpa busana, dengan syarat bahwa identitas mereka tidak boleh disebutkan.

"Film adalah potret kehidupan. Kalau tidak ada shot alat kelamin lalu apa pengalaman yang bisa saya bagi ke penonton?," ujar dia.

Meskipun film pendek kelimanya ini kerap dianggap vulgar dan sensual, Wregas memiliki pandangan sendiri terhadap alat kelamin perempuan dan laki-laki, yang baginya merupakan metafora atas kodrat keduanya untuk saling melengkapi.

"Prenjak", menurut Wregas, justru lebih menunjukkan semangat perempuan untuk bertahan hidup dengan tetap mempertahankan harga diri, meskipun harus mengesampingkan rasa malu.

Semangat ini digambarkan dengan cara yang unik dan cenderung gila melalui permainan seks korek api, namun tidak menghilangkan sensitifitas dan naluri perempuan.

Melalui tokoh Diah dalam "Prenjak", sutradara berusia 23 tahun itu juga ingin menunjukkan identitas Jawa-nya bahwa orang Jawa cenderung membungkus kesedihan dan kegetiran hidup dengan canda.

"Bencana atau kemalangan adalah bagian perjalanan hidup yang tidak perlu ditangisi berlarut-larut," kata dia. 

Pewarta: Yashinta Difa P.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016