Jakarta (ANTARA News) - Pengamat terorisme dari PP Muhammadiyah, Mustofa B Nahrawardaya, berpendapat revisi UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih terkendala dengan perbedaan pemahaman arti jihad dengan teror.

"Bagi kelompok yang dicurigai teroris, mereka memandang itu perjuangan secara Islam (jihad). Tapi oleh pemerintah dianggap teror. Padahal antara jihad dan teror itu beda," kata dia, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.

Maka dengan perbedaan pemahaman itu, titik temu untuk menuntaskan revisi UU anti terorisme sulit didapatkan dan hal serupa juga terjadi pada UU yang lama, ujarnya.

Dalam UU itu, tuturnya melanjutkan, hanya dijelaskan tindak pidana terorisme ialah tindakan pelanggaran yang memiliki unsur pidana sesuai dengan yang telah dijabarkan pada UU Nomor 25/2003.

Penjabaran tersebut hanya menjelaskan unsur pidana, tetapi tidak menjelaskan terorisme seperti apa.

Selanjutnya, yang terjadi saat ini UU itu dapat dipakai untuk menindak, sehingga dia menilai ada celah pemahaman pada poin itu.

"Misalnya, ada orang sedang berdiskusi untuk melakukan Jihad ke Suriah, tapi dianggap pemerintah sebagai teroris. Ini yang akhirnya tidak ketemu pemahamannya," tukasnya.

Oleh karena itu PP Muhammadiyah menyarankan, sebelum dilakukan revisi UU ada baiknya dilakukan penyelarasan arti atau pemahaman jihad.

"Dalam UU tidak disebutkan teroris tidak terkait dengan agama, tapi praktiknya hanya pemeluk agama Islam yang kena. Ini yang harus diselesaikan," ujarnya.

Pewarta: Roy Bachtiar
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016