Brussels (ANTARA News) - Facebook, Twitter, YouTube dan Microsoft hari ini menyepakati sebuah pedoman berprilaku (code of conduct) Uni Eropa untuk menghadapi ujaran kebencian online selama 24 jam di Eropa.

Pemerintah-pemerintah Uni Eropa pada beberapa bulan belakangan ini berusaha meminta platform sosial menangkal rasisme online yang terus meningkat menyusul krisis pengungsi dan serangan teror yang antara lain mengancam mengambil tindakan kepada perusahaan-perusahaan internet itu.

Sebagai bagian dari janji yang disepakati bersama Komisi Eropa, raksasa-raksasa web itu akan mengkaji ulang mayoritas permintaan valid untuk menghilangkan ujaran kebencian dalam kurang dari 24 jam atau mematikan akses ke konten itu jika diperlukan.

Mereka juga akan memperkuat kerja sama mereka dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang membantu membenderai (flag) konten kebencian ketika online dan mempromosikan kontranaratif terhadap ujaran kebencian.

"Serangan teror belakangan ini telah mengingatkan kita pada tindakan segera untuk menghadapi ujaran kebencian online. Media sosial sayangnya adalah salah satu alat yang digunakan kelompok teroris untuk meradikalisasi orang muda," kata Komisioner Keadilan Uni Eropa Vera Jourova.

Jerman telah berhasil memaksa Google, Facebook dan Twitter untuk menyetujui menghapus ujaran kebencian dari laman-laman mereka dalam jangka 24 jam tahun lalu dan bahkan meluncurkan investigasi Facebook Eropa atas dugaan gagal menghapus ujaran kebencian rasis.

"Tidak ada tempat untuk ujaran kebencian di Facebook," kata Monika Bickert, Ketua Manajemen Kebijakan Global di Facebook. "Dengan komunitas global 1,6 juta manusia kami bekerja keras untuk menciptakan keseimbangan dengan memberikan orang kekuasaan dalam mengekspresikan dirinya sendiri sembari memastikan kami menyediakan lingkungan yang terhormat."

Pedoman berprilaku sebagian besar adalah kelanjutan dari upaya yang sudah dilakukan perusahaan-perusahaan itu dalam menangkal ujaran kebencian pada laman-laman mereka, seperti mengembangkan tool-tool untuk orang agar melaporkan konten kebencian dan staf pelatihan demi menjawab permintaan-permintaan semacam itu.

Twitter telah menonaktifkan 125.000 akun sejak pertengahan  2015 karena mengancam atau mempromosikan aksi teror, terutama yang berkaitan dengan ISIS, demikian Reuters.


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016