Jakarta (ANTARA News) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2015 atau sama dengan opini atas LKPP tahun sebelumnya.

"Opini tersebut sama dengan opini LKPP tahun 2014," kata Ketua BPK Harry Azhar Azis saat membacakan sambutan pada acara penyampaian laporan hasil pemeriksaan BPK atas LKPP 2015 dalam rapat paripurna DPR RI di Jakarta, Kamis.

Harry menjelaskan ada enam permasalahan terkait gabungan ketidaksesuaian dengan standar akuntasi pemerintahan, kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, yang ditemukan BPK dalam pemeriksaan LKPP tahun 2015 sehingga menjadi pengecualian atas kewajaran LKPP.

Enam permasalahan tersebut adalah ketidakpastian nilai penyertaan modal negara pada PT PLN dan penetapan harga jual eceran minyak solar bersubsidi yang lebih tinggi dari harga dasar termasuk pajak dikurangi subsidi tetap sehingga membebani konsumen dan menguntungkan badan usaha sebesar Rp3,19 triliun.

Kemudian, adanya piutang bukan pajak pada Kejaksaan RI sebesar Rp1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi dan pada Kementerian ESDM sebesar Rp33,94 miliar dan 206,87 juta dolar AS dari iuran tetap, royalti dan penjualan hasil tambang yang tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta Rp101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.

Selain itu, ada persediaan di Kementerian Pertahanan sebesar Rp2,49 triliun yang belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai serta persediaan di Kementerian Pertanian sebesar Rp2,33 triliun yang belum dapat dijelaskan status penyerahannya.

Lebih lanjut, Harry menambahkan ada pencatatan dan penyajian catatan serta fisik Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang tidak akurat sehingga BPK tidak dapat menyakini kewajaran transaksi dan atau saldo terkait SAL sebesar Rp6,6 triliun.

Terakhir, ada koreksi langsung yang mengurangi ekuitas sebesar Rp96,53 triliun dan transaksi antar entitas sebesar Rp53,34 triliun, yang tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat didukung oleh dokumen sumber yang memadai.

Harry mengatakan hasil pemeriksaan LKPP tersebut juga mengungkap beberapa masalah signifikan seperti penerapan standar akuntansi pemerintah berbasis akrual, yang baru pertama kali diterapkan pada 2015, belum didukung kebijakan akuntansi memadai.

Kemudian, ada permasalahan penatausahaan pajak seperti piutang pajak yang macet sebesar Rp38,22 triliun yang belum dilakukan tindakan penagihan yang memadai, permasalahan inkonsistensi penggunaan tarif pajak dalam penghitungan PPh Migas dan Ditjen Pajak yang belum menagih sanksi administrasi berupa bunga dan denda Rp8,44 triliun.

Selain itu, jumlah kementarian/lembaga (K/L) yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada 2015 tercatat mencapai 56 K/L, sebanyak 26 K/L mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan sebanyak empat K/L mendapatkan opini Tidak Mendapatkan Pendapat.

"Jumlah K/L yang memperoleh opini WTP menurun sebanyak enam K/L dari 62 K/L pada 2014 menjadi 56 K/L pada 2015," ujar Harry.

Harry juga menyampaikan realisasi pendapatan dalam APBN 2015 mencapai Rp1.508,02 triliun dan belanja negara berjumlah Rp1.806,51 triliun, dengan defisit anggaran yang tercatat sebesar Rp298,49 triliun dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) 2015 sebesar Rp24,61 triliun.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016