Kuala Lumpur (ANTARA News) - Ruangan besar di salah satu hotel ternama di Kuala Lumpur masih saja lengang, padahal Rabu (1/6) sore itu jarum jam sudah menunjuk angka 15.00 yang seharusnya acara "opening plenary" pada "World Economic Forum on Association of South-East Asian Nations" dimulai.

Setelah sempat molor kurang lebih 30 menit, Philipp Rosler selaku pemandu acara berjalan beriringan bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, Perdana Menteri Kamboja Samdech Teco Hun Sen, Perdana Menteri Timor Leste Rui Maria de Araujo, Perdana Menteri Malaysia Mohamad Najib bin Tun Abdul Razak, dan Wakil Perdana Menteri Vietnam Trinh Dinh Dung.

Rosler memberikan kata kunci mengenai pertemuan yang digelar selama dua hari pada 1-2 Juni 2016 di Ibu Kota Malaysia itu dari tempat duduknya yang sejajar dengan kelima pemimpin pemerintahan tersebut.

Mimbar yang disediakan ternyata hanya untuk PM Najib, sedangkan para pemimpin pemerintahan, termasuk Rosler, duduk di kursinya masing-masing di atas panggung menghadap audiens.

Dibuka dengan ucapan "Salam 1 Malaysia", Najib memaparkan kegemilangan ekonomi yang telah dicapai oleh ASEAN selama beberapa tahun terakhir. Dengan GDP sebesar 2,6 triliun dolar AS, ASEAN telah menjadi negara-negara ekonomi terbesar ketujuh di dunia.

Dengan jumlah penduduk sekitar 625 juta jiwa, ASEAN akan menjadi pasar terbesar keempat di dunia pada 2050, demikian kata Najib.

Pertumbuhan GDP ASEAN yang mengancam China sebagaimana laporan PriceWaterhouseCoopers karena banyaknya penduduk berusia di bawah 35 tahun dan meningkatnya taraf pendidikan penduduk ASEAN bukan saja sebagai pasar ekonomi yang memesona dunia, melainkan juga menjadi tujuan wisata paling menarik di Asia.

"Apa yang ASEAN bisa lakukan dengan potensi-potensi itu? Apakah kita, para pemimpin, kapten industri, pembuat kebijakan, para pengamat, dan lembaga swadaya masyarakat di ASEAN memperhatikan potensi itu? Di sini banyak yang harus kita lakukan," kata Najib berapi-api.

Setelah berpidato selama sekitar 30 menit, kendali forum ada pada Rosler. PM Araujo mendapat kesempatan pertama untuk menanggapinya. Dilanjutkan oleh PM Hun Sen yang menanggapinya dengan menyampaikan kondisi dan potensi ekonomi di negaranya.

Dukungan mengalir
"Tentang ASEAN, saya sangat bahagia seperti yang disampaikan PN Najib tadi. ASEAN saat ini tumbuh atas kerja sama sebuah komunitas. Saya rasa ASEAN akan menjadi lebih maju karena menjadi kesatuan," kata Wapres Kalla saat dimintai oleh Rosler untuk memberikan tanggapan.

Pernyataan Kalla itu terkesan biasa-biasa saja. Bahkan tidak mendapatkan aplaus yang sama dari undangan saat Najib yang ramai dibicarakan karena skandal korupsi di salah satu badan usaha milik pemerintah Malaysia usai berbicara.

Tidak aneh memang, karena Kalla tidak berbicara di atas podium. Namun dari tempat duduknya seperti tiga kepala pemerintahan lainnya yang hanya dimintai tanggapan tentang pertumbuhan tantangan ekonomi pada masa mendatang.

Meskipun demikian, Kalla yang mewakili sekitar 250 juta jiwa penduduk Indonesia pada saat itu tidak kehilangan kesempatan untuk menyampaikan unek-uneknya. Pernyataan pendahuluan boleh dibilang sekadar basa-basi.

Selanjutnya Kalla mengeluarkan jurus-jurus jitu yang tentu saja sesuai dengan data dan fakta yang dapat membuka mata pelaku bisnis global yang menjadi sponsor utama WEF.

Kalla yang dua periode menjabat wakil presiden itu pertama kali menyoroti tentang kesenjangan antarnegara anggota ASEAN. Baginya, program konektivitas ASEAN merupakan retorika semata tanpa dibarengi dengan pembangunan infrastruktur.

Infrastruktur di beberapa negara anggota ASEAN masih "compang-camping". Namun rakyat Indonesia patut berbangga, meskipun bentuk negaranya kepulauan, pemerintah telah berjuang keras membangun infrastruktur.

Pengalihan subsidi bahan bakar minyak untuk pembangunan infrastruktur dan kemudahan akses pelayanan kesehatan serta pendidikan merupakan kebijakan yang tepat dalam mendukung konektivitas di ASEAN.

Kesetaraan ekonomi di ASEAN mustahil dapat dicapai jika masalah-masalah sosial, seperti pelayanan kesehatan dan program pendidikan yang memadai, termasuk ketersediaan infrastruktur, tidak terpenuhi.

Namun yang tidak kalah pentingnya adalah kesejahteraan rakyat di Asia Tenggara. Kalla tidak membandingkan ASEAN dengan negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tengah yang tidak dapat bersatu karena berbagai masalah.

Meskipun demikian, Kalla merasa perlu mengingatkan para kepala negara dan kepala pemerintahan di ASEAN tidak mengabaikan masalah kesejahteraan di tengah upaya mengejar pertumbuhan ekonomi.

Tanpa keraguan sedikit pun, dalam kesempatan itu Kalla menyampaikan kekesalannya kepada perusahaan-perusahaan global yang mempersaingkan upah buruh antarnegara anggota ASEAN.

Ia mencontohkan produsen sepatu dan garmen berskala internasional yang memindahkan pabriknya dari Indonesia ke Vietnam dan Kamboja dengan alasan upah buruh lebih murah di kedua negara tersebut.

"Mereka memproduksi sepatu dan garmen dengan harga 15 dolar, tapi dijualnya dengan harga 100 dolar. Jangan kita dipermainkan seperti itu. Jangan pula buruh dieksploitasi," kata Kalla yang kala itu langsung mendapat sambutan dari hadirin para pelaku bisnis global, pengamat ekonomi, dan jurnalis yang memadati "ballroom".

Kalla yang berlatar belakang pengusaha tidak alergi terhadap persaingan. Dia sangat menyadari bahwa kompetisi adalah sebuah keniscayaan dalam dunia usaha. Namun yang diinginkannya persaingan yang sehat, fair, dan terbuka.

Oleh sebab itu, Kalla memiliki ide agar ASEAN memiliki standar upah minimum untuk mengikis praktik kompetisi tidak sehat yang sengaja dilakukan oleh perusahaan-perusahaan berskala global.

Gayung pun bersambut. Vietnam dan Kamboja sangat mendukung gagasan Kalla tersebut. Di sela-sela WEF, Wakil PM Vietnam Trinh Dinh Dung bertemu Kalla di hotel tempatnya menginap.

Dia menginginkan gagasan Kalla itu segera ditindaklanjuti dengan tindakan yang konkret karena Dinh sadar di negaranya banyak sumber daya manusia berkeahlian namun berupah di bawah standar.

Bersama Kamboja, Vietnam mendesak Indonesia segera menemui Sekretaris Jenderal ASEAN di Jakarta untuk segera membahas gagasan Kalla tersebut. Bahkan, tidak hanya di ASEAN, Kalla juga akan menggalang dukungan mengenai pemberlakuan upah buruh yang layak di Asia Selatan, seperti Bangladesh.

Upah buruh yang layak di ASEAN bukan jargon semata karena Indonesia sudah melakukan langkah nyata dengan mengeluarkan penghentian sementara atau moratorium pengiriman tenaga kerja informal ke sejumlah negara, termasuk Malaysia dan Singapura.

Sikap Indonesia tersebut membuat beberapa negara di Asia, termasuk Malaysia dan negara-negara kaya di Timur Tengah, cemas karena salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonominya bakal terhambat.

Oleh Irfan Ilmie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016