Jakarta (ANTARA News) - Dijuduli dengan kalimat yang menarik, "Oleh-Oleh Pengajian" bukan buku karya seorang mentor kepada murid didiknya, melainkan dari murid ke murid, dari yang telah menyelami peliknya kehidupan kepada mereka yang akan dan telah menyelami perjalanan serta makna hidup.

Buku ini adalah kristalisasi hasil perjalanan batin selama enam tahun seorang ibu rumah tangga, ibu dua anak yang juga istri salah seorang eksekutif periklanan berhasil di Jakarta.

"Selama enam tahun belakangan ini saya menjemput ilmu dari satu majelis taklim ke majelis taklim lainnya. Ilmu tersebut selalu saya catat untuk saya baca kembali, untuk memantapkan informasi yang saya terima," tulis Yovie Novita, sang penulis buku, dalam bagian pengantar dari buku setebal 346 halaman ini.

Ditulis dan disunting, bahkan didesain, dengan melibatkan kerabat paling dekatnya, Yovie memang meninggalkan sedikit lubang mengenai bagaimana seharusnya sebuah buku ditata, namun tetap masih lebih banyak kredit positif untuk buku ini.

Pada era ketika semua orang bisa melakukan apa saja yang pada era yang telah lewat lalu begitu sulit untuk dilakukan, buku ini menjadi bukti dan dorongan untuk siapa pun guna menuliskan gagasan-gagasan positif tentang kehidupan, pada matra apa saja, tanpa harus terlalu terkungkung oleh sulitnya menembus dinding kemapanan sebuah industri (penerbitan). Alih-alih buku ini seharusnya memperkaya industri itu.

Jelas Yovie tidak membuat buku ini untuk mengusik dominasi itu karena keinginan besar untuk berbagi nilai-nilai positif kehidupan, khususnya dalam bagaimana manusia mendekati dan mencintai Tuhan serta memaknai pesan-pesain ilahiah dari fananya dunia, adalah hal terbesar yang mendorong Yovie membuat buku ini.

Dia merasa ajaran-ajaran kebaikan mengenai hidup meninggikan makna, sungguh amat baik disebarluaskan kepada siapa pun khalayak, sebagaimana syiar Islam yang tak akan pernah surut oleh berhentinya waktu dan tutupnya sebuah generasi.

Dia mengawinkan apa yang didapat dari pengalaman indrawi dan mati batinnya dengan ceramah-ceramah para aulia yang dia lahap dari pengajian satu ke pengajian lain, termasuk dari buku-buku tentang Islam yang juga di dalamnya memuat tasawuf dan susastra yang memang digemari Yovie.

Bukan pula ini dilandasi untuk tampil diri atau mengajari orang lain, karena dalam hampir seluruh bagian buku ini Yovie selalu berusaha merendahkan hati bahwa dia pun masih mencari makna hidup. Sebaliknya, ini adalah ajakan dan rayuan untuk mengenali diri dan Tuhan sehingga hidup dan tujuan hidup dikenali dalam-dalam.

Meninggikan sabar

Ditulis dengan diperkaya oleh literatur-literatur yang dibaca penulisnya, buku ini dimulai dengan bagian tentang sabar.

Menukilkan kalimat-kalimat suci dari Alquran, Yovie menjabarkan sabar sebagai cara orang beriman meminta pertolongan dan petunjuk kepada Allah SWT karena yakin bahwa ujian berupa ketakutan, kelaparan, kemiskinan, kematian dan perpisahan akan selalu datang mengguncang kehidupan sebagai sebuah cara untuk menentukan kepantasan masuk surga Allah.

Tak berlebihan jika Yovie membuka 44 halaman pertama dari bukunya ini dengan bagian sabar, yang kemudian dia sandingkan dengan taqwa, karena kesabaran  mendorong orang selalu bersyukur atas apa pun yang dialaminya sehingga kehidupan pun selalu terlihat dan terasa indah.

Ulama besar Abdullah bin Mas'ud bin Ghafil bin Habib al-Hudzali pernah berkata bahwa sabar itu memiliki dua sisi;  sisi satu adalah sabar itu sendiri, dan satunya lagi bersyukur kepada Allah.  Yovie berusaha menarik pemahaman ke arah itu, tentang bersyukur dan bersabar karena dia yakin inilah kunci dalam membuat hidup selalu manis, tak peduli dalam suka atau duka.

Yovie tidak sendirian karena filsuf besar Prancis Jean-Jacques Rousseau pun melukiskan kesabaran sebagai "pahit, namun buahnya manis", sedangkan ahli tasawuf besar Eropa kelahiran Gujarat, Hazrat Inayat Khan, menempatkan kesabaran dalam dua hal utama yang meliputi emosi manusia, yakni suka dan duka, lewat untaian kata berikut, "Suka dan duka itu adalah cahaya dan bayang kehidupan; tanpa cahaya dan bayang tak ada warna yang tegas."

Yovie berusaha membawa esensi sabar dalam pengertian itu, sembari mengutipkan ayat-ayat qudus dalam Alquran, khususnya surat Al-Baqarah dan Ali Imran.

Dia kemudian menyimpulkan, "Hanya dengan satu amalan berupa sabar saja, ternyata kita telah menjalankan amal kebajikan, sekaligus memiliki keimanan benar...Bagi orang yang sabar, Allah akan selalu bersamanya, menjaganya, memberikan pertolongannya. Jika Allah selalu mendampingi, dijamin dunia akan bahagia dan di akhirat mendapat surga."

Teladani Rasulullah


Buku ini adalah testimoni mengenai kebenaran tak terhingga kalimat-kalimat Allah yang dirasakan oleh penulisnya, kendati dia mengeraskan kesimpulan tentang kebenaran Islam itu setelah menikmati dakwah dari satu majelis taqlim ke majelis taqlim lainnya, dan tentu saja dari pengalaman hidup, ketekunan mengkaji dan menelusuri serta mencerap pesan-pesan ilahiah dari kehidupan.

Menggunakan bahasa yang ringan dan dipenuhi kutipan ayat-ayat suci Alquran yang mungkin akan lebih lengkap jika mengutipkan pula ayat asli dalam Bahasa Arab pada Alquran, selain juga hadits-hadits, buku ini banyak menyelipkan nilai terdalam kebenaran Islam lewat rangkaian kata sederhana nan populer namun tak kurang filosofis, sebagian karena Yovie juga senang membaca buku-buku tasawuf.

Salah satu ilustrasinya adalah pada bagian "Tentang Cinta (Mahabbah)" manakala Yovie menyampaikan kalimat ringan namun bermakna dalam bahwa "keengganan manusia mengenal Allah membuatnya tidak mengetahui tujuan keberadaannya di muka bumi. Akibatnya perilaku manusia tidak lagi nama-nama ilahi yang dikaruniakan kepadanya." Ada banyak kalimat sederhana namun bermakna dalam seperti itu pada buku ini.

Namun cinta, dan kesabaran, adalah pesan terpenting buku ini. Tentu saja bukan cinta berselimut nafsu yang acap meniadakan kesadaran, melainkan cinta kepada pencipta dan penyebar ajaran cinta sang pencipta, yakni Allah dan Rasulullah Muhammad SAW. Cinta yang diajarkan Rasulullah yang semestinya diteladani manusia pengikut jalan Muhammad.

Yovie mengakhiri bagian bukunya dengan bab "Rasulullah SAW sebagai Suri Teladan" di mana di sini dia menyimpulkan, "untuk menjadi manusia yang memiliki karakter sabar, takwa dan manusia yang indah, kita membutuhkan contoh atau panutan, begitu juga dalam memahami kehendak-kehendak Allah. Tanpa suri teladan manusia bisa keliru dalam memahaminya, karena manusia memiliki keterbatasan pemahaman. Orang yang layak dijadikan suri teladan haruslah orang yang direkomendasikan Allah SWT. Orang yang direkomendasikan tersebut adalah Rasulullah SAW."

Kecintaan tulus manusia kepada Allah dan rasulnya akan membawa manusia mengenali dirinya dan mengetahui tujuan hidupnya, untuk kemudian menyelamatkan kehidupan manusia di dunia dan akhirat, demi bahagia baik dalam fana maupun baqa.  Inilah mungkin salah satu pesan tertinggi yang bisa ditangkap dari buku ini.

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016