Jakarta (ANTARA News) - Proyek-proyek pembangunan pulau buatan yang dilakukan Tiongkok di Laut Cina Selatan (LCS) telah mengundang reaksi dari sejumlah negara di kawasan dan dunia.

Dalam banyak konferensi internasional, negara-negara di kawasan secara bersamaan berbicara tentang masalah itu. Yang paling baru pada pertemuan G7 di Jepang, Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN (ADMM) di Laos, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Amerika Serikat di California dan di Shangri-La Dialogue, Singapura, negara-negara yang berpartisipasi dalam forum-forum tersebut mengutuk tindakan sebagai eskalasi Tiongkok di LCS.

Secara khusus, Pengadilan Tetap Arbitrase La Haye (PCA) mempersiapkan putusan akhir tentang kasus Filipina terhadap klaim Tiongkok di LCS.

Tiongkok secara aktif memobilisasi dukungan di dalam negeri untuk maksud-maksudnya menyelesaikan sengketa dengan masing-masing negara, tidak untuk menginternasionalkan masalah LCS, ingin mengendalikan 90 persen dari wilayah laut itu. Namun, negara-negara yang bersangkutan tidak menerima karena hal itu adalah masalah internasional bagi lalu lintas kargo paling penting di dunia senilai lima triliun dolar AS melalui kawasan tersebut.

Sebelumnya, pada KTT antara 10 pemimpin ASEAN dan Presiden AS Barack Obama (15 sampai dengan 16 Februari 2016) di Sunnylands, California, Amerika Serikat dan negara-negara peserta mengeluarkan pernyataan bersama yang prihatin atas masalah LCS. Mereka berkomitmen untuk mempromosikan kerja sama guna mengatasi masalah tersebut dengan cara damai.

Namun, sehari kemudian, Pentagon menemukan Tiongkok telah mengerahkan rudal permukaan ke udara HQ-9 di Woody Island di Kepulauan Paracel yang diklaim Vietnam.

Angkatan Laut Tiongkok mengerahkan sebuah pesawat militer ke salah satu pulau buatan di negara itu di LCS, kata Kementerian Pertahanan Tiongkok. Pernyataan ini diyakini sebagai misi pertama kali yang diakui secara terbuka.

Sebuah pernyataan singkat di laman kementerian itu mengatakan bahwa pesawat tersebut sedang dalam misi patroli ketika dialihkan ke Fierry Cross Reef untuk menjemput tiga pekerja konstruksi yang cedera. Pesawat itu kemudian terbang ke Sanya, Provinsi Hainan, dan mendarat di Bandar Udara Internasional Fenghuang, kata kementerian itu.

Tiongkok menyatakan bahwa pulau-pulau artifisial negara itu di Laut Timur untuk tujuan-tujuan sipil. Negara tersebut juga mengatakan bahwa Beijing telah membangun mercusuar dan fasilitas observasi cuaca di sana. Beberapa pakar mengatakan apa yang Beijing sampaikan mungkin tidak benar. Radar itu digunakan untuk melacak kapal dan pesawat dan juga mengukur arus samudra.

"Kami dapat mengenali dengan mudah bahwa fasilitas-fasilitas yang dibangun Tiongkok untuk tujuan-tujuan militer," kata Tran Cong Truc, mantan Ketua Komite Urusan Perbatasan Vietnam.

Semua negara yang mengkhawatirkan masalah LCS diminta tenang, dan semua tindakan yang mengganggu stabilitas regional tidak diinginkan. Perundingan mengenai suatu tata perilaku (COC) antara Tiongkok dan ASEAN sedang berjalan. Akan tetapi, aksi-aksi tersebut merupakan isyarat bahwa Tiongkok tidak mengambil langkah diplomasi dan memperhatikan hukum internasional secara serius.

Bertentangan dengan DOC
Apa yang dilakukan Tiongkok di pulau-pulau artifisial tersebut di Spratly juga bertentangan dengan semangat Pernyataan Bersama "Declaration on Conduct" (DOC) di kawasan itu, yang fokus pada langkah status quo dan aksi-aksi yang tak mendukung agar terhindar dari situasi yang rumit. Pernyataan bersama tersebut ditandatangani di Phnom Pengh, Kamboja, 4 November 2002.

Panglima pasukan AS di Pasifik, Laksamana Harry Harris, pernah menyatakan Beijing mengirim sinyal bahwa pihaknya sedang mengusahakan "hegemoni" di Asia Timur.

Ketika Tiongkok memulai proyek-proyek konstruksi di pulau-pulau buatan, pihaknya membantah memiliki maksud agresif. Dikatakannya bahwa proyek-proyek itu ialah untuk membangun langkah-langkah defensif dan fasilitas-fasilitas sipil yang berada di wilayah kedaulatannya dan akan menguntungkan masyarakat internasional.

Menurut Truc, aksi-aksi paling akhir Tiongkok merupakan "suatu eskalasi militer baru" yang bertolak belakang dengan apa yang negara itu katakan.

Ia mengatakan bahwa Beijing "menantang tidak hanya negara-negara yang mengklaim seperti Vietnam, tetapi juga negara-negara lain di luar wilayah itu seperti AS, yang memanfaatkan kebebasan navigasinya dekat pulau-pulau buatan Tiongkok". Langkah Tiongkok itu berbahaya dan serius, yang akan diikuti oleh langkah-langkah lainnya untuk menguasai wilayah secara keseluruhan.

Ia juga mengatakan bahwa pengerahan itu bisa memicu perlombaan senjata di Asia, dan curiga bahwa pemerintah Tiongkok siap mendeklarasikan Zona Identififkasi Pertahanan Udara (ADIZ) di Laut Timur. Konflik skala besar mungkin bisa terjadi jikalau tidak ada solusi efektif diambil untuk "menghentikan ambisi Tiongkok".

Ketegangan-ketegangan telah meningkat dalam 2 tahun terakhir setelah Tiongkok melakukan aksi-aksi tersebut untuk memproyeksikan keunggulan militernya ke luar wilayah daratan Tiongkok.

Taiwan, Malaysia, dan Brunei juga mengklaim wilayah di LCS yang Tiongkok katakan miliknya. Vietnam merupakan salah satu pengkalim vokal dalam pertikaian itu.

Dalam pertemuan pemimpin negara-negara industri G7 pada tanggal 26 s.d. 27 Mei 2016 di Ise-Shima di Jepang, para pemimpin G7 mengeluarkan pernyataan bersama mengutuk tindakan Tiongkok di LCS. Deklarasi bersama yang menyatakan: "G7 menyerukan negara-negara menahan diri melakukan tindakan sepihak yang dapat meningkatkan ketegangan dan harus menyelesaikan sengketa dengan cara damai."

Presiden RI Joko Widdodo mengatakan bahwa Asia hendaknya jangan jadi arena bagi kekuatan-kekuatan global untuk mendesakkan pengaruh mereka. "Indonesia ingin menekan bahwa semua negara hendaknya menghormati hukum internasional tanpa kecuali," kata Presiden Jokowi yang menjadi salah satu pembicara utama di forum itu.

Indonesia, yang bukan negara pengklaim dalam pertikaian itu, mendesak bahwa pendekatan militer hanya akan menimbulkan konflik dan memicu siapa mendukung siapa.

Dalam Konferensi Menteri Pertahanan ASEAN (ADMM) di Vientiane, Laos, 25 Mei 2016, para pejabat ASEAN berbagi penilaian atas situasi keamanan regional dengan penekanan khusus pada isu-isu keamanan maritim di laut, termasuk LCS.

Pernyataan Bersama di ADMM X itu juga menegaskan pentingnya menjaga perdamaian, stabilitas, serta kebebasan navigasi dan penerbangan di LCS sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional sebagai Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Saat ini di luar negara-negara ASEAN, relatif banyak negara di dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang, India, dan Australia sangat prihatin dengan situasi di LCS karena berkaitan dengan kepentingan nasional mereka.

Tindakan Tiongkok yang agresif, menentang hukum internasional, ingin memonopoli perairan tersebut menyebabkan relatif banyak negara menyuarakan oposisi dan masyarakat kawasan khususnya menginginkan Tiongkok juga menahan diri dan menempuh jalur diplomasi.

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016