Jakarta (ANTARA News) - Pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, yang baru saja ditetapkan oleh DPR bersama dengan Pemerintah, masih menimbulkan perdebatan.

Undang-undang yang baru tersebut sejatinya diharapkan sebagai perbaikan atas UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2015.

Alih-alih memperbaiki pengaturan pilkada, UU yang masih menunggu penomoran tersebut justru menimbulkan ketidaksesuaian dan tidak optimal dalam pelaksanaannya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara pemilihan kepala daerah menilai dalam UU Pilkada baru tersebut mengatur sejumlah pasal yang mengabaikan asas independensi dan keadilan.

Asas independensi lembaga penyelenggara tersebut dilanggar melalui pasal 9 huruf a di UU Pilkada baru tersebut.

Pasal tersebut berbunyi bahwa tugas dan wewenang KPU menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.

Kata "mengikat" dalam pasal 9 huruf a tersebut dinilai sebagai amunisi DPR untuk menyetir langkah-langkah KPU dalam menentukan peraturan dan pedoman teknis sebagai dasar pelaksanaan pilkada.

Dengan kata lain, fungsi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang transparan dan bebas dari intervensi tidak lagi bernyawa.

Munculnya pasal tersebut ditengarai tidak melibatkan KPU dalam pembahasannya selama rapat dengar pendapat di Komisi II DPR RI. KPU merasa tidak banyak dilibatkan dalam pembahasan tersebut.

Komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay mengungkapkan pihaknya hanya satu kali terlibat dalam rapat dengar pendapat bersama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Komisi II DPR RI.

Hadar menjelaskan pada saat itu Kemendagri belum menyerahkan draf rancangan undang-undang (RUU) yang telah direvisi. Sebaliknya, KPU justru telah diminta oleh Komisi II untuk menyerahkan usulan perbaikan RUU.

Usulan perbaikan dari KPU pun diserahkan kepada Komisi II DPR dua pekan setelah rapat bersama tersebut. Pada saat itu, KPU merinci sebanyak 63 poin masukan terhadap pengaturan pelaksanaan pilkada kepada Komisi II DPR RI. Setelahnya, Hadar mengatakan pihaknya tidak lagi dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut.



Dinilai Membangkang

DPR menilai protes KPU terhadap kemunculan pasal tersebut tidak dapat ditolerir mengingat selama pembahasan RUU Pilkada KPU selalu mendapatkan perkembangan isi pembahasan.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy mengaku seluruh pihak terkait telah berkontribusi dalam pembahasan RUU Pilkada tersebut.

Masing-masing pihak, yakni Komisi II dari DPR RI, Kementerian Dalam Negeri selaku perwakilan dari Pemerintah serta KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara, telah menyumbangkan perannya secara adil.

Lukman Edy menyebutkan peran tersebut telah terbagi rata, yakni masing-masing pihak sebesar 30 persen, selama pembahasan RUU Pilkada berlangsung di DPR.

Bahkan, dia menegaskan kesimpulan dalam setiap rapat dengar pendapat tidak akan terlaksana jika masing-masing pihak tersebut tidak menyepakati usulan dalam pembahasan.

Komisi II mengaku pengaturan mengenai kewenangan pembuatan peraturan KPU tersebut dimunculkan sebagai tindakan evaluatif terhadap pelaksanaan pilkada sebelumnya.

Lukman menyatakan pihaknya menemukan sikap KPU yang tidak mengindahkan berbagai hasil rapat di DPR dalam pelaksanaan pilkada serentak pada Desember 2015.

Sehingga, pengaturan pasal 9 huruf a di UU Pilkada baru tersebut merupakan konsekuensi dan penyeimbang terhadap diskresi yang dimiliki KPU sebagai lembaga penyelenggara.

KPU pun telah mempersiapkan kuda-kuda untuk mengajukan gugatan uji materi segera setelah UU Pilkada yang baru itu dinomori. Namun, langkah KPU untuk mengajukan gugatan tersebut dinilai sebagai sikap membangkang terhadap keputusan DPR selaku pembuat legislasi.

KPU menilai independensi merupakan asas paling penting bagi penyelenggara dalam melaksanakan tugas perhelatan pemilihan umum. Sehingga, setiap kegiatan KPU harus bebas dari intervensi dari pihak mana pun.

Rencana KPU untuk mengajukan gugatan uji materi adalah hal yang wajar mengingat sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU harus bersikap independen dan tanpa intervensi dalam menetapkan peraturan.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pun mempersilakan seluruh pihak, yang merasa tidak puas dengan hasil pembahasan RUU Pilkada, untuk mengajukan gugatan uji materi ke MK.

Tidak menutup kemungkinan yang mengajukan gugatan itu adalah lembaga penyelenggara pilkada itu sendiri, kata Mendagri Tjahjo.

Dia mengatakan selama pembahasan RUU Pilkada antara Kemendagri dan Komisi II tidak pernah ada maksud untuk mengintervensi kewenangan KPU selaku lembaga penyelenggara pilkada.

Tjahjo mengaku telah mengakomodasi berbagai usulan yang masuk selama rapat pembahasan RUU Pilkada, namun dia menilai bahwa tidak semua usulan itu bisa diikutsertakan dalam RUU yang akhirnya disahkan tersebut.

Sikap Komisi II tersebut sesungguhnya menunjukkan arogansi anggota DPR, jika setiap UU yang digugat uji materi dianggap sebagai bentuk pembangkangan.

Apabila gugatan uji materi jadi dilayangkan, setelah UU Pilkada yang baru disahkan, maka drama demokrasi di Tanah Air masih akan berlanjut ke babak berikutnya. 

Oleh Fransiska Ninditya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016