Itulah mafia peradilan, bukan hanya melibatkan hakim tapi juga pengacara dan terdakwa. Terkait apakah ada permintaan dan penawaran, siapa yang duluan meminta, itu yang akan dibuktikan di persidangan semua akan didalami,"
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami insiatif permintaan untuk dua hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Bengkulu.

"Itulah mafia peradilan, bukan hanya melibatkan hakim tapi juga pengacara dan terdakwa. Terkait apakah ada permintaan dan penawaran, siapa yang duluan meminta, itu yang akan dibuktikan di persidangan semua akan didalami," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam temu media di gedung KPK Jakarta, Senin.

Perkara yang dimaksud adalah kasus dugaan penerimaan suap untuk mempengaruhi putusan terkait kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan honor Dewan Pembina RSUD Bengkulu 2011. Dua hakim tipikor Bengkulu yang menjadi tersangka adalah Janner Purba yang juga menjabat Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang dan Toton.

"Apakah ada janji hakim untuk membebaskan akan didalami, apakah fakta memberikan uang akan didalami. Kalau ada 3 orang anggota majelis 3, tertangkap 2 sehingga kalau putusan juga sudah 2 lawan 1, itu kan sudah vonis. Misalnya 2 hakim sudah menjanjikan vonis bebas, maka akan bebas, tapi nanti akan didalami oleh penyidik," tambah Alexander.

Hakim Janner dan Toton diketahui kerap berpasangan dan sudah membebaskan 10 orang terdakwa perkara korupsi di PN Bengkulu selama periode 2015-2016.

Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima orang tersangka yaitu Ketua PN Kepahiang sekaligus hakim Tipikor Janner Purba, hakim ad hoc PN kota Bengkulu Toton, panitera PN Kota Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy, mantan Kepala Bagian Keuangan rumah sakit Muhammad Yunus Syafri Syafii, mantan Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Muhammad Yunus Edi Santroni.

Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap lima orang tersebut pada Senin (23/5) di beberapa lokasi di Kepahiang Bengkulu. Dalam OTT tersebut KPK menyita uang sebesar Rp150 juta yang diberikan oleh Syafri kepada Janner setelah sebelumnya Edi memberikan Rp500 juta kepada Janner pada 17 Mei 2016 sehingga total uang yang sudah diterima Janner sekitar Rp650 juta.

KPK menduga uang Rp650 juta tersebut diberikan agar majelis hakim yang dipimpin oleh Janner Purba dengan anggota majjelis Toton dan Siti Inshiroh membebaskan Edi dan Syafri selaku terdakwa yang masing-masing dituntut 3,5 tahun penjara dalam kasus penyalahgunaan honor Dewan Pembina Rumah Sakit Umum Daerah Bengkulu Muhammad Yunus. Vonis kasus itu rencananya akan dibacakan pada Selasa (24/5).

KPK menyangkakan Janner dan Toton berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Badaruddin Amsori Bachsin disangkakan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP sehingga ia diduga sebagai penerima sekaligus pemberi hadiah atau janji kepada penyelenggara negara dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Syafri Syafii dan Yunus Edi disangkakan melanggar pasal 6 ayat 1 atau pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dan atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

(D017/H015)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016