Sanaa (ANTARA News) - Penderitaan bukan hal baru buat rakyat Yaman, yang telah dirongrong krisis sejak kekacauan meletus di negeri tersebut pada 2011.

"Ini cuma masa paling sulit. Beberapa hari kami puasa selama 24 jam, kadangkala lebih. Kami tak pernah menghadapi kondisi berat semacam ini. Tak mungkin ada cara untuk mengatasinya dan, dalam sebagian besar kasus, tak ada orang yang membantu kami," kata Eman (35), ibu lima anak, dan istri dari suami yang menderita sakit mental.

Eman dan keluarganya dengan sembilan anggota tinggal di satu rumah dengan dua kamar. Ayah dan ibu mertuanya tinggal bersama mereka. Ayah mertuanya sakit berat setelah ia terjatuh. Ia tak bisa jalan, dan cuma tergeletak di kasur.

"Saya satu-satunya penunjang nafkah keluarga saya. Suami saya sakit mental. Saya tak bekerja dan sangat lelah untuk mencari pekerjaan dalam kondisi semacam ini. Saya berkeliaran hampir ke seluruh Sanaa untuk mendapat pekerjaan. Setiap kali, saya pulang dengan tangan hampa dan kekecewaan," kata wanita tersebut, sebagaimana diberitakan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis malam. Ia menambahkan baik pemerintah maupun lembaga bantuan tak pernah datang untuk membantu mereka.

Sejak konflik meningkat setelah campur-tangan militer pimpinan Arab Saudi mulai dilancarkan pada Maret 2015, krisis telah bertambah parah dan 82 persen dari seluruh 21 juta warga Yaman sangat memerlukan bantuan dasar, kata PBB.

PBB juga menyatakan 19 juta orang tak memiliki akses ke air bersih, 14 juta kekurangan akses ke perawatan kesehatan dan 14,4 juta berada dalam kondisi rawan pangan. UN OCHA di Yaman meminta dana sebab lembaga itu mengatakan masih sangat kekurangan.

Negeri tersebut, katanya, kini memerlukan bantuan kemanusiaan bernilai 1,8 miliar dolar AS, tapi hanya 19 persen yang telah diberikan.

Lembaga bantuan lokal menyatakan mereka menghadapi masalah termasuk kekurangan dana dan kesulitan untuk menjangkau daerah yang paling terpengaruh akibat perang yang tak kunjung berakhir.

Fatik Ar-Roudaini, Direktur Mona Relief, mengatakan kondisi di berbagai kamp pengungsi sangat buruk, dan menyatakan perawatan kesehatan, kebersihan, furnitur dan makanan sangat diperlukan.



Pembicaraan gagal

Pembicaraan perdamaian yang didukung PBB antar-pihak yang berperang di Yaman dan diadakan di Kuwait sejauh ini tak menghasilkan kemajuan nyata. Beberapa sumber di Kuwait mengungkapkan beberapa pihak membawa pembicaraan itu kembali ke tahap awal setiap kali kemajuan kelihatannya akan dicapai.

Banyak pengamat berpendapat PBB cuma menunda pengumuman mengenai kegagalan pembicaraan tersebut.

Selain kurangnya itikad baik dari berbagai faksi Yaman, PBB juga bersalah atas kegagalan untuk menghasilkan terobosan dalam pembicaraan perdamaian, kata Fuad As-Salahi, seorang Profesor Sosiologi Politik di Sanaa University.

"Pembicaraan itu dimulai dan berlanjut tanpa kesepakatan awal dari semua mengenai apa yang mesti mereka bicarakan. Mereka berada dalam lingkaran setan dan itu sebabnya mengapa proses tersebut akan gagal," kata Fuad As-Salahi.

Nageeb Ghallab, seorang Profesor Politik di Sanaa University, mengatakan di laman Facebooknya bahwa PBB takkan bisa membuat pembicaraan itu berhasil, jika badan dunia tersebut gagal bertindak secara tegas mengenai berbagai rujukan termasuk resolusi PBB yang melandasi pembicaraan itu.

"Perpecahan antar-faksi Yaman masih besar sehingga masyarakat internasional menghadapi ujian sulit. PBB mesti menjembatani jurang pemisah antar-faksi tersebut lebih dulu," kata Ghallab.

Pembicaraan itu dipusatkan pada tiga masalah, militer dan keamanan dan cara mengakhiri konflik tersebut, pembebasan tahanan dan pemulihan fasilitas negara guna meletakkan kerangka kerja dasar bagi kesepakatan politik.

(Uu.C003)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016