Damaskus (ANTARA News) - Warga Suriah yang mengungsi sudah menghadapi bermacam-macam kesulitan dan kenaikan harga komoditas dan bahan pangan menambah penderitaan mereka, membuat hidup dalam mimpi buruk mereka menjadi lebih parah.

Hamid sangat menderita ketika ia meninggalkan rumahnya di Provinsi Aleppo, saat bentrokan mulai berkecamuk dan menenggelamkan makin banyak daerah sampai akhirnya mencapai tempat tinggalnya di kota kecil Khishkhasheh.

Pria 29 tahun itu menyelamatkan diri bersama istri dan dua anak serta saudarinya beserta tiga anaknya, dan berusaha mengungsi ke satu apartemen yang belum selesai dibangun di kota kecil Jaramana, sebelah timur ibu kota Suriah, Damaskus.

Suara Hamid tidak terdengar seperti orang berusia 29 tahun, tapi barangkali seperti orang berumur 50 tahun atau lebih. Ia salah satu yang menanggung beban besar pada usia muda, kehidupan telah menghajarnya tanpa ampun.

Ia berbicara mengenai hidupnya di Aleppo seakan-akan ia berbicara mengenai kehidupan sebelumnya, dibandingkan dengan kehidupannya yang baru, yang tidak menyenangkan.

"Kami dulu hidup nyaman di kota kami, kami bekerja di ladang dan itu hidup yang indah. Kami datang ke Damaskus, dan situasi di sini tak bisa dibandingkan dengan hidup kami sebelumnya," kata Hamid sebagaimana dikutip kantor berita Xinhua.

Ia sekarang bekerja sebagai kuli dan menghasilkan 1.000 pound Suriah per hari atau sekitar dua dolar AS.

"Itu benar-benar tidak cukup, sebab harga semua komoditas telah meroket," katanya.

Lelaki itu mengatakan kelimpahan yang dulu dia nikmati telah berubah menjadi kelangkaan akan semua; seperti dia yang telah berganti pekerjaan dari di antara pepohonan hijau dan lahan pertanian menjadi kuli angkut di tempat konstruksi, dan tinggal di rumah yang sedang ia bangun sendiri.

Lelaki yang menderita tersebut mengatakan pergi ke pasar untuk berbelanja adalah mimpi terburuknya, karena ia menemukan semuanya tersedia di pasar tapi kantungnya tak bisa memenuhi kebutuhannya.

"Ketika saya pergi ke pasar, saya mendapati diri saya tak bisa membeli kebanyakan barang, karena harganya tinggi. Kenaikan harga saat ini benar-benar berdampak buruk terhadap kami," katanya.

Ia menambahkan, "Saya memerlukan 25.000 pound Suriah (52 dolar AS) per bulan cuma untuk memberi makan anak-anak saya kebutuhan dasar."

Hamid mengatakan ia menjalani sebagian besar kehidupan bulanannya dari sumbangan yang ia terima dari tetangga dan para dermawan.

"Saya menyewa rumah ini, yang kau tahu, biayanya 10.000 pound SUriah (20 dolar AS) per bulan. Situasinya buruk di sini, seperti yang kau lihat, tidak ada air dan listrik di sini. Tetangga kami memberi kami air sebagai semacam sedekah," katanya.

Istrinya, Salma, mengatakan dua anaknya sering tidur dengan perut kosong, dan ketika mereka sakit, mereka tetap sakit sampai mereka pulih sendiri sebab ia tak bisa membeli obat buat mereka.

"Harga-harga yang tinggi adalah monster baru yang menghantui kami dan anak-anak kami. Saya memberi makan anak-anak saya dengan roti dan segelas teh atau yogurt untuk menghentikan rasa lapar mereka, tapi di selain itu mereka tidur dalam keadaan lapar hampir sepanjang malam dan melihat mereka seperti ini membuat saya menangis karena tak berdaya," katanya.

Kementerian Perdagangan Suriah pada Kamis (16/6) mengeluarkan keputusan untuk menaikkan harga sejumlah kebutuhan pokok seperti "bahan bakar bensin dan diesel" dan gas untuk memasak sampai hampir 20 persen.

Keputusan itu menghadapi gelombang besar penolakan dan kecemasan dari mayoritas rakyat Suriah, yang negaranya dalam lima tahun ini tercabik konflik yang tak menyisakan sisi terang dalam hidup mereka.

Seorang aktivis di Facebook menyeru aksi duduk di Damaskus pada Minggu untuk memprotes keputusan pemerintah menaikkan harga, yang bukan pertama kalinya di negara yang menghadapi konflik panjang itu.

Guna menenangkan publik, Presiden Bashar al-Assad memerintahkan penaikan gaji  7.500 pound Suriah (15,5 dolar AS) bagi pegawai pemerintah, tentara dan pekerja sektor swasta.

Menurut perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Suriah telah kehilangan 259,6 miliar dolar AS selama perang dan produk domestik brutonya menyusut 55 persen.

Badan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (World Food Programme/WFP) menyatakan lebih dari 11 juta rakyat Suriah telah meninggalkan rumah mereka menuju kota-kota lain di negara tetangga.

Kebutuhan kemanusiaan di Suriah telah naik lebih dari 12 kali lipat sejak awal krisis pada 2011. Sebelum krisis Suriah adalah negara penghasilan menengah. Hari ini, satu dari tiga warga Suriah hidup di bawah garis kemiskinan.

Sementara produksi pangan di Suriah telah anjlok sampai 40 persen dibandingkan dengan tingkat pra-konflik menurut WFP.(Uu.C003)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016