Akhir-akhir ini muncul pemberitaan di media massa nasional dan lokal mengenai pencabutan Perda Syariah oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Isu ini juga menjadi perbincangan hangat di kalangan tokoh Islam dan pakar hukum.

Kritik pedas kepada Presiden Jokowi pun bermunculan, dianggap anti Islam, dan tidak berpihak pada umat Islam, padahal Mendagri Tjahjo Kumolo dalam berbagai kesempatan tidak pernah menyatakan mencabut perda yang bernuansa syariah.

Dari polemik itu, kemudian muncul wacana pemikiran formalisme agama dan substansisme agama. Para penganut formalisme agama selalu berfikir agama adalah sumber hukum resmi, sementara para penganut substansisme agama berfikir perlunya memadukan nilai-nilai ajaran agama dengan nilai-nilai "local wisdom" (kearifan lokal) dalam membuat peraturan atau undang-undang tanpa membawa simbolisasi agama tertentu.

Dalam hubungan ini, bagaimana sebenarnya posisi agama dalam pandangan politik menurut Islam?

Hingga kini masih diperdebatkan di kalangan fuqaha bidang kajian siyasah (politik) mengenai apakah Islam itu agama saja ataukah Islam itu agama sekaligus negara ("din wa daulah")? Kemudian apakah peran Nabi Muhammad SAW dalam memimpin umat sebagai rasul semata ataukah sebagai rasul sekaligus kepala negara (Rasulan wa Hakiman)?

Di kalangan pakar politik Islam, terdapat tiga arus besar pendapat. Pertama, bahwa Islam secara empirik telah menjadi dasar berdirinya negara-negara Islam, tetapi Islam tidak membakukan bentuk dan sistem negara Islam.

Islam telah memberikan etos politik yang bersifat universal dan prinsip-prinsip nilai yang dapat diterapkan dalam sistem pemerintahan dan bentuk negara yang mungkin berbeda-beda, sesuai tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat (al-Syuro wa atsaruha fi al-demokratiyah : Dr. Abd. Hamid al-Anshari, 1980).

Kedua, Islam merupakan agama dan negara (al-Islam din wa daulah). Alasannya kekuasaan pemerintahan negara merupakan instrumen strategis dalam mewujudkan kemaslahatan manusia. Oleh karena itu tidak ada pemisahan antara agama dengan negara. Karena masalah negara dan sistem pemerintahan itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Islam, maka tidak ada reka-reka politik yang dapat membuat sistem-sistem baru yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para khalifahnya. (Abu Ala Maudud: Nadlariyat al-Islam al-Siyasah).

Ketiga, Islam itu hanya mengurus agama (din fahasbu). Argumentasinya bahwa dakwah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW hanya dakwah diniyah semata, tidak dicampuri oleh urusan politik dan tidak pula bertujuan membentuk negara.

Apabila risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad menuntut kepemimpinan di tengah-tengah kaumnya, dan kekuatan juang (sulthan) di tengah-tengah pengikutnya, maka hal itu sama sekali bukan berarti kepemimpinan politik atau kekuasaan pemerintahan, tetapi kepemimpinan agama yang jauh dari kepentingan kekuasaan. Tokoh pendapat ini yang populer adalah Dr. Ali Abdurraziq, salah seorang Qadli Mahkamah Syariah dan Menteri Wakaf Mesir dalam karya tulisnya "al-Islam wa Ushul al-Hukm".

Dalam hubungan ini Munawir Sadzali, dalam bukunya "Islam and Governmental System" menyimpulkan bahwa di dalam Islam tidak terdapat pembakuan sistem pemerintahan, tetapi Islam telah memberikan prinsip-prinsip atau etika dasar dalam melaksanakan pemerintahan.Maka prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan dalam berbagai macam sistem pemerintahan yang ada.

Pendapat senada dikemukakan oleh pemikir Islam yang lain seperti Afif A Thobarah yang mengatakan bahwa Al-Quran tidak menetapkan bentuk atau sistem baku yang harus dipakai sebagai sistem pemerintahan Islam. Islam juga tidak menentukan cara penataan kekuasaan, namun Islam menetapkan beberapa prinsip yang menjadi acuan bagi umat Islam dalam melaksanakan pemerintahan kapan saja dan untuk sistem pemerintahan yang bagaimanapun, apakah itu republik, kerajaan, negara federasi atau kesatuan.

Faktor terpenting adalah tujuannya, yakni untuk kemaslahatan umat, sebab parameter al-mashalih itu berbeda-beda dan mengalami dinamika (thathawwurat) sejalan dengan perubahan waktu dan perbedaan tempat. Apabila sistem pemerintahan itu dibakukan dengan satu macam sistem, maka akan memberikan kesulitan (al-haraj) bagi umat Islam sepanjang perjalanan peradabannya.

Kejujuran
Ada pun prinsip-prinsip atau etika dasar yang digariskan Islam untuk dijadikan pedoman bagi para pemegang kekuasaan, termasuk raja, sultan, presiden, gubernur, dan bupati serta dijadikan standar penilaian rakyat untuk mengukur kredibilitas para pemimpinnya adalah kejujuran dan tanggung jawab (as-shidqu wa al-amanah), keadilan (al-adalah), permusyawaratan (as-syura), kesetaraan (al-musawah), kemaslahatan rakyat (al-masalhalih li ar-raiyyah), kebebasan (al-hurriyah), dan persaudaraan atau kesatuan (al-ukhuwah).

Tujuh prinsip ini agar diaplikasikan oleh para pemimpin untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.

Selama kita masih hidup dalam sebuah negara, kita tidak mungkin menghindar dari proses dan dinamika politik. Apalagi kalau merujuk kepada pendapat al-Ghazali dalam "al-Iqtishad fi al-Itiqad" tentang hubungan antara agama dan kekuasaan politik. Menurut al-Ghazali, eksistensi sulthan (berarti kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia. Ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama. Ketertiban agama wajib bagi keberhasilan akhirat.

Dengan argumen seperti itu al-Ghazali telah menarik wilayah politik ke dalam dimensi yang "spritual dan esoterik". Penegasan ini dikemukakan dengan kalimat "wajibnya Imam merupakan kewajiban agama. Agama adalah dasar dan sulthan adalah penjaganya. Berdasarkan qaul (pendapat) tersebut nampak bahwa wacana pemikiran dan tindakan politik tidak bisa dilepaskan begitu saja dari agama. Agama dalam pengertiahad Aly Sukorejo Situbondo), tokoh yang dikenal sebagai ahli Ushul Fiqh ini mengemukakan "Pemimpin pada hakikatnya adalah pelanjut (khilafah) tugas kenabian dalam dua hal, yakni menjaga agama dan mengatur dunia.

Sementara itu pemikir lain, Al Mawardi, berkata "Al-Imamah Maudhuatun li-khilafi al-nubuwah fi hirasadi al-ddin wa siyasati al-ddunya".

Nampaknya Al-mawardi hendak mengatakan bahwa negara "khilafah" itu syarat utamanya: 1. Negara menjadi tempat yang kondusif, nyaman dan aman untuk mengamalkan agama bagi para pemeluknya. 2. Para pemimpinnya serius berfikir dan berbuat untuk kemaslahatan rakyat, sehingga terwujud keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan lahir bathin.

Maka sesungguhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai dasarnya sangat potensial untuk menjadi negara khilafah ("Khilafah nubuwwah") dan bukan khilafah yang dimaksud oleh Hizbutt Tahrir Indonesia (HTI).

Dari beberapa pendapat ulama itu tampak bahwa titik tekannya adalah kemaslahan rakyat. Dalam hubungan itu pula perda-perda yang telah diputuskan oleh pemerintah daerah walaupun bernuansa syariah atau bernuansa ajaran agama seperti hari Nyepi di Bali, selama memberikan rasa aman, terjaganya toleransi, dan diputuskan secara institusional tentu tidak perlu kita persoalkan apalagi dicabut.

Justru revolusi mental yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia harus melalui intensifikasi spritual melalui pendalaman agama masing-masing sepanjang tidak mengurangi hak dan tidak mengganggu kepentingan agama lainnya.

Dalam situasi dan kondisi Indonesia saat ini pemerintah harus tegak berdiri membendung ekstrimitas kiri dan kanan secara seimbang berdasarkan patokan Pancasila, karena ketidakseimbangan dalam aspek ini akan dapat mengakibatkan instabilitas. Semoga Indonesia menjadi negara yang aman, makmur, dan sejahtera lahir bathin. 

*Penulis adalah Pengasuh Yayasan Raudlah Darus Salam Sukorejo Bangsalsari, Jember, Jawa Timur


Oleh Misbahus Salam
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016