Jakarta (ANTARA News) - Menurut WHO, angka bunuh diri di Indonesia pada 2010 adalah 1,8 per 100.000 jiwa atau sekitar 5.000 orang per tahun. Pada 2012 angka tersebut meningkat menjadi 4,3 per 100.000 jiwa atau sekitar 10.000 per tahun.

Secara global, setiap tahunnya, lebih dari 800.000 orang meninggal karena bunuh diri atau 1 kematian setiap 40 detik. Hal ini menempatkan bunuh diri di peringkat ke-5 sebagai penyebab kematian terbesar di dunia.

Dalam seminar "Gangguan Bipolar VS Fenomena Bunuh Diri", di Jakarta, Rabu, Ketua Seksi Bipolar dan Gangguan Mood lainnua PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia), Dr. dr. Margarita M. Maramis, Sp.KJ(K), mengungkapkan bahwa Gangguan Bipolar menjadi salah satu pemicu bunuh diri.

Gangguan Bipolar merupakan salah satu masalah kejiwaan ditandai dengan perubahan suasana hati antara terlalu sedih (depresi) dan gembira berlebihan (mania) secara fluktuatif dan ekstrim.

Dalam beberapa kasus yang cukup parah, orang dengan gangguan bipolar (ODB) mengalami delusi dan halusinasi (pada episod mania), dan berpikir tentang kematian atau bunuh diri secara terus menerus (pada episod depresi).

Sayangnya bunuh diri tidak menjadi isu kesehatan masyarakat. Hal tersebut juga dikarenakan stigma yang melekat pada gangguan jiwa yang menyebabkan orang tidak mencari pengobatan.

"Masyarakat kurang tahu, tapi ada pula yang sudah tahu namun merasa hal tersebut sudah takdir dan tidak perlu penanganan secara medis," kata dia.

Tingkat kekambuhan Gangguan Bipolar mencapai 85 persen selama 5 tahun. Sementara, angka bunuh diri yang disebabkan oleh Gangguan Bipolar mencapai 15 sampai dengan 20 persen, di mana 80 persen ODB pernah melakukan percobaan bunuh diri.

Hal senada juga disampaikan oleh Dr. dr. Nurmiati Amir, Sp.KJ(K) yang mengatakan bahwa orang dengan gangguan bipolar (ODB) pernah setidaknya melakukan satu kali tindakan percobaan bunuh diri.

"Percobaan bunuh diri lebih sering pada episod depresi dan campuran daripada episod mania," ujar dia.

"Hypomani (campuran) lebih besar risikonya karena mood depresi tercampur dengan mood mania di mana ODB memiliki energi untuk melukai dirinya sendiri, misalnya meloncat atau mengangkat pelatuk senjata," sambung dia.

Dokter Nurmiati juga mengungkapkan bahwa biasanya bunuh diri juga sering terjadi di awal penyakit karena ODB belum bisa menerima keadaan diri dan keterbatasan diri.

Selain itu, dia juga menyebut bahwa laki-laki lebih sering meninggal karena bunuh diri daripada perempuan. "Karena mereka lebih berani, misal untuk loncat," kata dia.

Bunuh diri akibat Gangguan Bipolar juga banyak terjadi di usia muda. Penyebabnya, menurut dokter Nurmiati, karena tertundanya diagnosis Gangguan Bipolar sehingga tertunda mendapat obat stabilisator.

Tidak hanya itu, risiko bunuh diri akibat Gangguan Bipolar juga semakin tinggi jika ODB telah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya. Data menunjukkan bahwa 56 persen ODB yang meninggal karena bunuh diri pernah paling sedikit satu kali melakukan percobaan bunuh diri.

Lebih lanjut, risiko ODB untuk bunuh diri semakin besar jika ada keluarganya yang meninggal karena bunuh diri, atau menyaksikan tindakan bunuh diri, ataupun memiliki gangguan kepribadian lainnya seperti cemas, agresif dan impulsif, maupun penyakit fisik serius.

Faktor pemicu ODB melakukan bunuh diri diantaranya kehidupan saat anak-anak yang pernah mengalami kekerasan fisik, seksual, verbal ataupun kehilangan orang tua. Tidak hanya itu, stres terhadap kehidupan saat ini juga menjadi pemicu ODB melakukan bunuh diri.

"Harus mengenal faktor risiko. Semakin banyak faktor risiko, semakin besar kemungkinan bunuh diri," ujar dokter Nurmiati.

"Selain itu, juga harus mengetahui faktor protektor, seperti kuatnya kepercayaan terhadap agama, dan adanya anak juga sering kali menjadi protektor," tambah dia.

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016