Jakarta (ANTARA News) - Kawasan sekitar Natuna, Kepulauan Riau yang biasanya sunyi dalam beberapa saat terakhir seakan menjadi pusat perhatian dunia.

Terlebih saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi Ranai, Ibu Kota Natuna, dan perairan di sekitarnya pada 23 Juni 2016.

Presiden yang menginjakkan kaki di Natuna ketika itu menjadi simbol betapa Indonesia ingin menegakkan kedaulatan yang telah puluhan tahun dipertahankan.

Natuna sebagai salah satu pulau terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang menyimpan cerita tersendiri.

Natuna merupakan simbol kedaulatan sekaligus bagian NKRI yang menyimpan segudang potensi sumber daya alam (SDM) yang demikian melimpah.

Kepulauan yang berada di sekitar garis batas Indonesia dengan sejumlah negara yakni Malaysia, Vietnam, dan Kamboja menyimpan setidaknya 16 blok migas.

Blok-blok migas yang ada di sekitar wilayah Kepulauan Natuna itu kini 5 blok di antaranya sudah menjalankan produksinya sementara 11 lainnya sedang dalam tahap eksplorasi.

Selain itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga menerangkan rencana pembangunan sentra kelautan dan perikanan secara terpadu di wilayah tersebut.

Presiden Jokowi pun kemudian menginstruksikan kepada menteri terkait agar melakukan percepatan pembangunan di Natuna.

Menurut dia, Natuna merupakan salah satu pulau terdepan di Indonesia sehingga pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas maupun pembangunan ekonomi seperti industri perikanan, gas, dan pariwisata bahari perlu segera dilakukan.

Presiden sekaligus berpesan agar patroli dan penjagaan kawasan Natuna harus ditingkatkan.

"Saya minta kemampuan TNI dan Bakamla dalam menjaga laut harus lebih ditingkatkan, baik dalam hal kelengkapan teknologi radar maupun kesiapannya," kata Presiden Joko Widodo.



Kedaulatan-Potensi

Natuna kemudian menjadi simbol ketegasan Pemerintah Indonesia dalam menegakkan kedaulatan.

Presiden Jokowi sebelumnya telah menegaskan untuk menegakkan kedaulatan di wilayah terdepan NKRI termasuk Natuna ketika ada ancaman yang mengusik.

Di sisi lain, Natuna adalah sumber potensi kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya.

Selain letaknya yang strategis, kawasan Pulau Natuna dan sekitarnya pada hakikatnya dikaruniai serangkaian potensi sumber daya alam yang belum dikelola secara memadai atau ada yang belum sama sekali.

Natuna merupakan sumber daya perikanan laut yang mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun dengan total pemanfaatan hanya 36 persen, yang hanya sekitar 4,3 persen oleh Kabupaten Natuna.

Selain itu, pertanian dan perkebunan seperti ubi-ubian, kelapa, karet, sawit dan cengkeh, belum lagi potensi obyek wisata bahari (pantai, pulau selam), gunung, air terjun, gua, dan budi daya.

Di samping itu, kawasan yang terletak di 225 km di sebelah utara Pulau Natuna (di ZEEI) adalah ladang gas D-Alpha dengan total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT yang merupakan salah satu sumber terbesar di Asia.

Segudang potensi itulah yang akan digarap satu persatu. Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya, misalnya, akan segera menjadikan Natuna dan wilayah di sekitarnya sebagai destinasi wisata baru.

"Sesuai arahan Presiden, Natuna akan dijadikan destinasi pariwisata," ucap Menteri Arief Yahya.

Ia mengatakan, setelah kunjungan kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Natuna pada 23 Juni 2016, pihaknya segera menindaklanjuti hasil kunjungan tersebut.

Arief menyatakan mulai merapatkan barisan dan mengonsolidasikan jajarannya untuk membangun Natuna dan sekitarnya sebagai destinasi wisata baru.

"Saya sudah meminta Kepala Dinas Pariwisata Kepri Guntur Sakti untuk melaporkan hasil kunjungan Presiden kepada Deputi Pengembangan Destinasi Kemenpar, untuk sinergi," ujarnya.

Arief menambahkan Natuna dan sekitarnya sebagai pulau terluar NKRI memiliki potensi wisata, terutama dari sisi bahari.

Oleh karena itu, pihaknya berencana mengembangkan Natuna sebagai destinasi wisata bahari dengan ditunjang infrastruktur yang lebih memadai.



Disain Diplomasi

Sebelum berkunjung ke Natuna, Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan sempat mengungkapkan pemerintah akan berkonsultasi dengan ahli hukum laut internasional untuk mencari solusi terbaik di Laut Cina Selatan (LCS).

Pada praktiknya, Indonesia memang memerlukan disain diplomasi yang baik ketika mengambil posisi non claiment state dalam perseteruan yang tak kunjung berujung di LCS.

Pengamat internasional dari PAR Indonesia, Guspiabri Sumowigeno mengatakan maritim perlu penguatan diplomasi baru yaitu dengan membentuk desain diplomasi di LCS yang menekankan pada instrumen dan konsep baru.

"Secara instrumental kegiatan diplomasi maritim memerlukan penguatan. Mengangkat Utusan Khusus Presiden/Duta Besar Keliling Urusan Maritim adalah solusi," tuturnya.

Ia mengatakan pos baru ini vital untuk mewujudkan visi Presiden Jokowi menjadikan Indonesia poros maritim dunia.

Secara konsep, lanjutnya Indonesia perlu mengantisipasi bahwa suatu saat di masa depan, pulau-pulau di LTS akan menjadi milik yang sah dari negara lain. Karena besar kemungkinan Tiongkok yang akan dominan di sana.

Untuk itu Indonesia perlu memiliki pendekatan langsung dan mengirimkan pesan bahwa Indonesia siap untuk ko-eksistensi damai dengan negara manapun di LCS, termasuk Tiongkok seandainya klaim Tiongkok pada akhirnya memperoleh pengakuan hukum dan komunitas internasional.

"Langkah ini akan meyakinkan Tiongkok bahwa friksi lebih lanjut dengan Indonesia akan menjauhkan dirinya dari tujuan meraih dukungan internasional di LCS," ujarnya.

Hingga kemudian langkah untuk menegakkan kedaulatan di Natuna adalah upaya strategis demi tetap berkibarnya merah putih di tapal batas NKRI.

Oleh Hanni Sofia Soepardi
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016