Jakarta (ANTARA News) - Gesang itu artinya hidup. Itu salah satu kosakata bahasa Jawa kromo dari "urip". Sebuah nama umumnya mengandung doa dan harapan dari si pemberi nama.

Patut diduga kuat, orang tua bayi yang baru lahir itu berdoa dan berharap agar anaknya hidup terus. Oleh karena itu, bayi itu dinamakan Gesang.

Alhamdulillah, bayi itu terus hidup dan berguna untuk orang banyak. Salah satu karyanya adalah lagu "Bengawan Solo". Lagu dalam irama keroncong itu bahkan berusia lebih panjang daripada penciptannya sendiri, Gesang, 1917 sampai dengan 2010. Lagu itu disukai banyak orang, terutama oleh generasi tua, sampai sekarang. Tidak hanya orang Indonesia, tetapi juga orang luar negeri.

Lagu "Bengawan Solo", karya sang maestro keroncong itu dialihbahasakan ke dalam 13 bahasa asing, termasuk Tionghoa, Inggris, dan Jepang. Lagu ini amat disukai di Jepang sehingga berdiri sebuah perkumpulan "fans" Gesang di negara Sakura itu.

Untuk mengenang dan menghargai Gesang yang lahir pada tanggal 1 Oktober 1917, perkumpulan itu membangun sebuah monumen bernama Taman Gesang di pinggir Bengawan Solo, kawasan Bonbin (Kebon Binatang) Njurug, yang nama resminya Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ). Taman Gesang yang didirikan pada tanggal 1 Oktober 1991 itu luasnya 1.564 m2 (34 x 46 meter), dilengkapi dengan gapura, jembatan, jalan paving, panggung Keroncong, tribun penonton, aula, dan patung sang maestro. Seluruh biaya berasal dari Perhimpunan Dana Gesang di Jepang.

Berbeda dengan bunyi syair "Bengawan Solo riwayatmu ini, sedari dulu jadi perhatian insani". Taman Gesang riwayatnya "gersang" atau merana. Dalam bahasa pesantren, keadaaan seperti itu bisa disebut sebagai "la yamutu, wa la yahya" (mati enggan, hidup pun tidak mau). Tampak tidak banyak orang yang menaruh perhatian terhadap eksistensinya.

Gapura taman itu sudah lapuk. Begitu pula, bangunan-bangunan lainnya dalam keadaan tidak terurus, rusak, lapuk, dan keropos dimakan usia tanpa perawatan. Gesang wafat pada tanggal 20 Mei 2010, pada usia 92 tahun.


Wisata Sungai

Tatkala kota-kota berkembang pesat menjadi padat penduduk dan jalan-jalan macet, destinasi wisata luar kota menjadi tujuan berlibur orang kota. Orang kota butuh ganti suasana yang sepi, nyaman, dan romantis. Tempat-tempat yang menyajikan udara segar, pemandangan indah, seperti di pinggir sawah, pegunungan dan pantai banyak diserbu.

"Kembali ke alam" dan "kembali ke desa" dengan kuliner khasnya menjadi tema wisata. Oleh karena itu, bermunculan nama-nama restoran di kota-kota besar dengan membawa nama "desa". Nostalgia menjadi komoditas utama bagi orang kota yang sibuk dengan kehidupan rutin yang penuh stres.

Taman Gesang bisa menjadi alternatif tujuan wisata yang pas untuk wisatawan dalam dan luar negeri. Ia menjanjikan hampir segalanya: pemandangan pinggir sungai yang permai, tempat nongkrong sambil menyanyi, mengalunkan lagu keroncong yang mendayu-dayu di bawah pepohonan rindang dan bercengkerama, berkasih-kasihan, dan memadu asmara. Suasana romantis, sekaligus nostalgik, dengan mudah terbangun.

Bagi yang lapar dan gemar kuliner lokal, tersedia makanan khas Solo, antara lain, nasi liwet dan minuman khas yang dapat berfungsi sebagai obat herbal (jejamuan), antara lain, beras kencur. Batik Solo bisa jadi cendera mata khas yang layak dibawa pulang. Ingin melihat binatang? Bonbin Njurug menyediakan 285 ekor binatang dari 65 jenis. TSTJ yang diniatkan sebagai tujuan wisata edukasi dan konservasi dengan luas 13,9 hektare itu ditumbuhi 149 jenis pohon.

Solo sebagai salah satu sumbu budaya dunia (worlds cultural hub) dengan mudah dapat dijangkau lewat darat (mobil dan kereta api) dan udara. Bandara Adisumarmo sejak beberapa tahun telah menjadi bandara internasional dengan penerbangan langsung internasional.

Ketika mengunjungi TSTJ awal Juni lalu, ingatan saya langsung melayang ke tujuan wisata sungai di negara-negara Eropa Tengah yang dilewati Sungai Donau atau Danube (Danuba), yang terkenal dengan lagunya "Blue Danube" atau "Blau Donau". Austria, Yugosalvia (dulu), dan Hongaria menjadikan Sungai Donau tujuan wisata yang ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri.

Donau membelah Ibu Kota Hongaria, Budapest. Kota Buda dan Pest disatukan oleh jembatan dengan arsitektur unik dan artistik, Elizabeth Bridge. Di kiri-kanan sungai berdiri deretan hotel dan restoran tertata rapi. Wisatawan, terutama muda-mudi berselancar dengan canda ria di sungai. Jerman juga menjual Sungai Rhein sebagai tujuan wisata.

Presiden RI Joko Widodo, yang "Wong Solo", sudah mencanangkan TSTJ dan Bonbin Bukittinggi sebagai pilot project konservasi Tipe A. Sebuah "grand design" telah disusun oleh sebuah tim lintas instansi yang dipimpin Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Siti Nurbaya. Tinggal pelaksanaannya.

Mumpung belum dilaksanakan, saya mempunyai usul: perlu koordinasi lintas instansi terkait dalam pengaturan wewenang (dan rezeki) serta pemeliharaan demi kenyamanan pengunjung, terutama wisatawan luar negeri dengan alasan berikut.

Bonbin yang umumnya berlokasi (awal) di pinggiran kota dengan harga tiket masuk yang relatif murah telah berkembang menjadi tujuan wisata yang banyak diserbu wisatawan kelas bawah pada hari-hari libur panjang. Alasannya, harga dan jarak terjangkau oleh mereka.

Sebagai contoh, antrean sepeda motor, bus, minibus angkutan kota, mobil pribadi, truk, dan minitruk dengan bak terbuka serta pejalan kaki sepanjang berkilo-kilometer adalah pemandangan biasa menuju pintu gerbang Bonbin Ragunan, Jakarta Selatan, setelah Lebaran.

Bonbin menjadi penuh sesak dengan manusia. Lebih banyak jumlah manusia daripada binatang yang ditonton. Bonbin lebih pas disebut Kebun Manusia. Mereka berjubel. Karena penat, sebagian pengunjung tidur bergeletakan dan atau duduk-duduk di bawah pohon-pohon rindang dengan menggelar tikar sambil menyantap bekal yang dibawa dari rumah walau warung-warung makan bermunculan di dalam bonbin dan pinggir jalan.

Penjajaja minuman, barang mainan anak, dan suvenir murahan tidak mau kalah berebut rezeki, menawarkan dagangan dengan nada setengah memaksa. Ini dirasakan sebagian pengunjung mengganggu kenyamanan.

Anak-anak berlarian menikmati kebebasan dari kungkungan ruangan rumah petak di gang-gang sempit, tipikal wilayah hunian penduduk miskin kota. Pada sore hari, ketika Bonbin tutup: sampah berserakan. Sekali lagi, perlu koordinasi antarinstansi di samping edukasi bagi pengunjung.


*) Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

Oleh Parni Hadi*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016