Jakarta (ANTARA News) - Hasil survei Cakupan Imunisasi pada 2008 oleh Universitas Indonesia menunjukkan, sebagian besar imunisasi di Indonesia dilaksanakan di Posyandu dan Puskesmas (88,1 persen) dan hanya 11,9 persen yang dilaksanakan di rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan swasta. 




Sementara, peredaran vaksin palsu diduga tidak lebih dari satu persen di wilayah Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Akan tetapi tidak dinyatakan jumlah pasti penerima vaksin palsu itu. 




"Untuk orangtua yang curiga anaknya mendapatkan vaksin palsu dapat mendatangi dokter atau fasilitas pelayanan tempat anaknya mendapat layanan imunisasi, jika vaksinnya terbukti palsu, maka anak akan diberikan imunisasi ulang," kata Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, dalam pernyataannya di Jakarta, Senin. 




Dia tidak mengungkap cara mengetahui keaslian atau kepalsuan vaksin sebagaimana dia nyatakan itu. 




Yang terpenting, kata Moeloek, selalu mengamati timbulnya reaksi atau kejadian ikutan setelah pemberian imunisasi, segera laporkan ke petugas kesehatan. 




"Umumnya gejala atau reaksi ikutan ini timbul tidak lama setelah diimunisasi. Namun sampai saat ini kami belum menemukan atau pun menerima laporan adanya kejadian ikutan paska imunisasi setelah isu vaksin palsu ini merebak," kata dia. 




Kementerian Kesehatan segera berkoordinasi dengan Komite Ahli Imunisasi, pihak Sanofi dan GSK, untuk menyusun rencana tindak lanjut, antara lain mengestimasi pemakaian atau penjualan vaksin import di Indonesia agar dapat memperhitungkan dampak dari vaksin palsu ini terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. 




Selain itu, Kementerian Kesehatan juga akan menyusun rencana pelacakan kemungkinan keberadaan vaksin palsu di daerah-daerah dan selanjutnya mendata balita yang sudah menerima vaksin palsu. 




Selanjutnya, bersama-sama merumuskan jadwal vaksinasi yang harus dilakukan kepada anak yang mendapatkan vaksin palsu.




Komplotan pembuat dan pengedar vaksin palsu perlahan-lahan digulung polisi. Hari ini dua tersangka ditangkap di Semarang. 




Sebelumnya tiga komplotan produsen vaksin palsu ditangkap, yaitu P ( Puri Hijau Bintaro, Tangerang Selatan, Banten), tersangka HS (ditangkap di Jalan Serma Hasyim, Bekasi Timur, Jawa Barat), serta suami-istri H dan R (ditangkap di Kemang Regency, Bekasi, Jawa Barat).




Dari "usaha" vaksin palsu, terungkap produsen vaksin bisa memperoleh keuntungan hingga Rp25 juta sepekan. Sementara pihak distributor meraup keuntungan Rp20 juta. 




Agung mengatakan vaksin-vaksin palsu itu didistribusikan di Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Semarang (Jawa Tengah) dan Yogyakarta. "Mereka (para pelaku) sudah menggeluti usaha ini sejak 2003," katanya. 




Jika dihitung kasar maka keuntungan bisnis haram sejak 2003 di tangan distributor adalah Rp16.900.000.000 dan Rp13.520.000.000. 

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016