London (ANTARA News) - Hasil referendum yang memutuskan Inggris Raya (UK) keluar dari keanggotaan Uni Eropa, Brexit, dengan perolehan suara sebanyak 51,9 persen juga berdampak pada sektor pendidikan. Pameran pendidikan di Inggris makin gencar digelar di Indonesia. 

Dari tahun ke tahun, makin banyak mahasiswa Indonesia kuliah di Inggris melalui berbagai jalur, apakah biaya sendiri atau beasiswa dan tugas belajar. 

Dampak Brexit pada pendidikan nasional dan dunia mengemuka dalam diskusi Persatuan Pelajar Indonesia Essex usai acara berbuka puasa, di Colchester, Inggris, akhir pekan.

Diskusi berlangsung hangat dan dipandu Dharendra Wardhana, kandidat PhD di King's College London. Juga hadir Ketua PPI Essex, Rudy Kusdiantara, dosen matematika di Essex University, Hadi Susanto, dan lecture Essex Business School, Murniati Mukhlisin, serta dosen di Universitas Riau, Ahmad Jamaan, graduate student School of Computer Sceince yang juga pengurus Muhammadiyah UK, Arif Setyanto.

Brexit diduga juga akan berpengaruh pada sektor pendidikan, ujar Wardhana, yang melanjutkan kuliah di Universitas Nottingham. 

Selama ini jasa pendidikan di Inggris menjadi salah satu yang terbaik di dunia dan sangat diminati pelajar dari berbagai negara termasuk Indonesia.

Ditambah peluang beasiswa, hari ini semakin mudah ditemui muda-mudi melanjutkan studinya di berbagai kota di Inggris.

Dikatakan dia, sektor pendidikan turut berkontribusi dalam perekonomian dan lajunya semakin meningkat setiap tahunnya. Beberapa universitas bahkan membuka cabang kampus dan kelas di negara lain.

Saat ini, kerja sama pendidikan dengan Uni Eropa menghasilkan pendanaan riset yang mencapai 10 persen anggaran pendidikan Inggris.

Dengan perubahan aturan pasca-Brexit, sebanyak 18 universitas unggulan akan kehilangan separuh dana penelitiannya. Tak pelak, hampir seluruh kampus segera rapat internal mengantisipasi dampaknya.

Sementara itu Jamaan menyatakan, sebagian besar berpendapat dampak Brexit terhadap perekonomian Indonesia tidak terlalu signifikan mengingat perdagangan Indonesia-Inggris hanya sebesar 1,2 persen, sedangkan proporsi ekspor Indonesia-UE sekitar 10 persen.

Pun demikian, laju penurunan kurs poundsterling tentunya berpengaruh pada pelajar Indonesia yang sedang dan akan berangkat studi, hingga dampak pada biaya hidup, tabungan, dan lain-lain pada pelajar Indonesia. 

Pada diskusi  itu sebagian pelajar menyatakan keheranannya atas hasil referendum yang mengagetkan ini. Inggris dinilai mengingkari arus besar globalisasi yang sesungguhnya merupakan keniscayaan.

Disintegrasi dari UE dipandang sebagai manifestasi kekhawatiran yang berlebihan akan isu-isu kontemporer di kawasan Benua Biru. 

Pada akhirnya, politik isolasi seperti ini akan menimbulkan kesan forum kerjasama sebesar UE ternyata menimbulkan efek negatif lebih banyak dibanding manfaatnya.

Hal ini berpotensi diikuti oleh negara anggota lainnya tidak hanya di kawasan UE tetapi juga di kawasan lainnya. Beberapa wilayah di Inggris yang selama ini dinilai sangat plural, ramah pendatang, dan bercorak multi-kultur seperti Birmingham, Nottingham, dan Leeds ternyata mayoritas warganya memilih Brexit.

Temuan ini menarik sekaligus memberikan sinyal bahwa sebenarnya asimilasi, toleransi, dan kerukunan antar anggota masyarakat selama ini tidak mampu mengubah ketetapan warga pendukung Brexit yang diduga bernuansa politis. 

Dengan kemenangan pihak penyokong Brexit ini, para pelajar juga cemas apabila tren yang sama nantinya akan terjadi di negara-negara besar lainnya.

Saat ini, berita peningkatan dukungan warga Amerika Serikat pada calon presiden Donald Trump sudah membuat sebagian orang cemas. Calon presiden dari Partai Republik ini sebelumnya pernah menyatakan sikap anti-pendatang.

Ditambah lagi, kenaikan persentase perolehan suara partai-partai ultra nasionalis di beberapa negara Eropa, di antaranya Perancis, Austria, Belanda, Denmark, Finlandia, dan Swiss semakin menambah rasa takut masyarakat dan pelajar internasional.

Apapun hasilnya, keputusan referendum Brexit harus diterima seluruh pihak demi mempertahankan komitmen demokrasi.

Sebagai salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia dan sudah melewati rentang zaman yang sangat panjang, segenap elemen di Inggris diharapkan mampu mengatasi berbagai tantangan yang akan timbul.

Meskipun dampaknya belum dapat diketahui setidaknya sampai kurun dua tahun mendatang, keputusan tersebut dan ditambah pidato pengunduran diri PM David Cameron menimbulkan dampak seketika terhadap pasar keuangan.

Nilai tukar mata uang poundsterling langsung terhempas ke tingkat paling rendah sejak 20 tahun terakhir.

Hasil referendum ini benar-benar di luar perkiraan banyak pihak. Dana kampanye kelompok Britain Stronger in Europe yang berupa aliansi lintas-partai menginginkan Inggris tetap di UE jauh lebih banyak (6.88 juta) dibandingkan anggaran kampanye kelompok pro-Brexit, Vote Leave yang hanya sebesar 2.78 juta.

Penelusuran opini masyarakat melalui jajak pendapat hingga saat-saat terakhir juga menunjukkan kemungkinan Inggris akan bertahan meskipun dengan marjin menipis.

Saat ini, UE memiliki sebanyak 28 negara anggota. Inggris tergabung ke dalam UE sejak 1973 atau 16 tahun setelah lembaga ini terbentuk. 

Penyelenggaraan referendum dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan sebagian warga negeri Ratu Elizabeth atas kinerja UE yang birokratis dan terlalu banyak mengintervensi tapi tidak membawa banyak manfaat.

Faktor lain adalah kekhawatiran akan serbuan imigran yang semakin meningkat sehingga berakibat pada kesempatan kerja yang menyempit.

Aspek ekonomi nampaknya sangat berpengaruh, namun usulan referendum ini diduga juga dimotivasi oleh sentimen negatif anti-pendatang yang diusung partai-partai berhaluan nasionalis garis keras (ultra kanan) seperti UKIP dan BNP.

Analisis perolehan suara dan jajak pendapat menunjukkan pola yang menarik untuk diamati. Dari sisi demografis, sebanyak 75 persen pemilih berusia muda (18-24 tahun) justru menginginkan Inggris masih di UE sedangkan penduduk usia tua (65 tahun keatas) sebanyak 61 persen memberikan suaranya supaya Inggris hengkang dari UE.

Menariknya, warga Skotlandia sebagian besar (62 persen) menolak Brexit, padahal pada 2014 lalu mereka sempat menyelenggarakan referendum untuk menentukan keberlanjutan integrasinya di dalam Kerajaan Inggris.

Selain Skotlandia, hanya ada tiga wilayah yang menunjukkan kemenangan penolak Brexit, yaitu Gibraltar (95 persen), Irlandia Utara (56 persen), dan daerah ibukota London (60 persen).

Para pemimpin dari berbagai negara mulai dari Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, hingga Presiden Jokowi, yang mengutarakan harapan mereka kepada Cameron beberapa waktu lalu juga akan kecewa dengan hasil akhir referendum ini.

Seperti halnya warga dunia umumnya merasa terhenyak dengan citra Inggris selama ini sebagai tonggak demokrasi yang senantiasa menjunjung tinggi kemajemukan dan kesetaraan. Kekecewaan tersebut diiringi dengan kekhawatiran akan lunturnya apresiasi terhadap keragaman serta pengaruh negatif terhadap perekonomian global.

Selain itu, keresahan juga muncul saat keputusan keluar dari UE ini akhirnya berakibat pada daya beli masyarakat yang menurun. Dengan batalnya perjanjian dagang antarnegara, otomatis harga komoditasimpor akan semakin meningkat.

Pembatasan migrasi akan berimbas pada upah tenaga kerja yang semakin mahal. Warga yang selama ini dimudahkan dengan bepergian lintas negara tanpa syarat administrasi juga akan mengalami kesulitan. 

Dampak langsung dari referendum ini akan dirasakan satu juta warga Inggris yang bekerja di kawasan UE karena kemungkinan tidak akan dapat mengakses layanan kesehatan yang disediakan National Health Services. 

Begitu pula sebanyak tiga juta pekerja asing di Inggris yang terancam tidak akan lagi memperoleh manfaat jaminan sosial. 

Oleh Zeynita Gibbons
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016