Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menyampaikan kronologi penanganan kasus korupsi penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya yang dinilai merugikan keuangan negara senilai Rp7,028 miliar.

"Awalnya ada surat dari Kejaksaang Agung pada 11 Februari 2016 dilampirkan surat dari seseorang yang mengatasnamakan Sarjono perihal laporan penyimpangan keuangan yang dilakukan Sudi Wantoko dan dilampirkan juga buku besar keuangan. Kemudian disposisi Kajati 7 Maret TL maknanya tangal 7 harus sudah ada laporan," kata Kepala Seksi Penyidikan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Rinaldi Umar dalam sidang pemeriksaan saksi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu.

Rinaldi menjadi saksi untuk terdakwa Direktur Keuangan dan "Human Capital" PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko, Senior Manager perusahaan tersebut Dandung Pamularno dan Direktur Utama PT Basuki Rahmanta Putra Marudut Pakpahan yang didakwa menjanjikan uang ke Kajati DKI Jakarta SUdung Situmorang dan Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu senilai Rp2,5 miliar.

Sudung mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlidik) pada 15 Maret 2016 untuk melakukan penyelidikan dan meminta keterangan empat staf PT Brantas yang menyebutkan bahwa Sudi sebagai orang yang diduga melakukan tipikor sehingga Sudi memahaminya bahwa perkara penyimpangan tersebut sudah masuk tahap penyidikan dan Sudi menjadi tersangka.

"Hasil telaah saya adalah laporan didukung data dan calon saksi yang jelas, adanya penggunaan dana BUMN yang berbau entertainment dan berbau gratifikasi kepada pejabat BUMN, sebaiknya melibatkan BPK dan BPKP dan sebaiknya menerbitkan sprilidik (surat perintah penyelidikan)," tambah Rinaldi.

Selanjutnya Aspidsus Tomo Siteepu pun memberikan pendapat terhadap kasus itu yaitu adanya penyimpangan dana untuk "entertainment" dan dilihat dari waktu perkaranya yaitu 2011-2012 bukan berarti tidak dapat diungkap.

"Pada 8 Maret confirm" terbit disposisi agar sprinlidik terbit selambat-lambatnya pada 9 Maret dan tidak perlu audit investigasi sehingga sprinlidik pun terbit pada 15 Maret dengan tanda tangan Pak Kajati," jelas Rinaldi.

Selanjutnya dibuat tim jaksa penyelidik yang bertugas memanggil orang-orang yang dimintai keterangan, namun persoalannya adalah surat panggilan dibuat dengan landasan surat perintah penyidikan (sprindik) bukan sprinlidik.

"Saya hanya baca cepat (surat panggilan), tidak lihat kekurangan huruf, Memang kadang ada kesalahan pangkat atau nama tapi tidak pernah salah dari surat penyelidikan menjadi surat perintah penyidikan. Jadi ini salah huruf," tambah Rinaldi.

Namun staf honorer di Kejati DKI Jakarta Muhammad Yusuf memperbaiki arsip surat yang ada di Kejati DKI Jakarta yang tadinya menyantumkan dasar pemanggilan adalah "surat perintah penyidikan" menjadi "surat perintah penyelidikan".

"Jujur saya tahu ada kejadian seperti itu saat terjadi penggeledahan. Saat petugas KPK meminta surat panggilan dan saya ambil saja semua. Saya kasih tapi saya tidak tahu kalau ada perbedaan dan saya lihat petugas yang minta membaca ternyata ada perbedaan penyelidikan dan penyidikan, itu bedanya. Saya tegur anggota saya, kenapa dibuat seperti ini jadi dia membenarkan," ungkap Rinaldi.

Sedangkan Yusuf yang juga menjadi saksi dalam sidang mengaku mengubah surat tersebut karena dimarahi oleh Kasi Eksekusi dan Eksaminasi Kejati DKI Jakarta Samiaji yang juga menjadi jaksa penyelidik dalam kasus PT Brantas.

"Katanya Sup ini kok berdasarkan sprindik bukan sprinllidik? Saya jawab oh iya sudah pak nanti saya perbaiki.Saya perbaiki jadi surat perintah penyelidikan. Saya print ulang, saya potong saya tempel, saya foto kopi lalu saya rapikan posisi biar sama, terus saya foto kopi sekali dengan mengurangi ketebalan tintanya sehingga setelah fotocopy kedua garisnya hilang," kata Yusuf berkilah.

Padahal Sarjono yang menjadi pelapor kasus tersebut pun tidak pernah memenuhi panggilan penyelidik Kejati Jakarta.

Sudi, Dandung dan seorang perantara bernama Marudut didakwa dan diancam pidana dalam pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberatansan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau jo pasal 53 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta atau percobaan untuk melakukan kejahatan yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016