Jakarta (ANTARA News) - KPK meminta agar Mahkamah Agung serius melakukan reformasi lembaga peradilan pascalima Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan terhadap tujuh orang oknum lembaga tersebut.

"KPK prihatin dalam waktu sangat berdekatan beberapa penegak hukum khususnya hakim dan panitera terlibat suap-menyuap. KPK tidak pernah menargetkan secara khusus OTT terhadap pengadilan dan pejabat atau penegak hukum yang lain tapi kasus ini dikembangkan dari laporan masyarakat. Semoga kejadian ini dijadikan pelajaran bagi MA untuk mereformasi peradilan di Indonesia agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Jumat.

Pada Kamis (30/6), KPK melakukan OTT terhadap panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Muhammad Santosa karena diduga menerima suap terkait pengurusan perkara perdata.

Sebelumnya KPK sudah melakukan empat OTT terhadap oknum peradilan yaitu pada 12 Februari 2016 terhadap Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Badan Peradilan Umum MA Andri Tristianto Sutrisna yang menerima suap sebesar Rp400 juta untuk menunda pengiriman salinan putusan Peninjauan Kembali (PK). Pada 20 April 2016 OTT terhadap panitera/sekretaris PN Jakpus Edy Nasution yang diduga menerima Rp150 juta terkait pengurusan dua perkara Lippo Group di PN Jakpus. Terkait perkara itu, Sekretaris MA Nurhadi juga dicegah bepergian keluar negeri.

Ketiga pada 23 Mei 2016 OTT terhadap Ketua PN Kepahiang sekaligus hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) Janner Purba, hakim ad hoc PN kota Bengkulu Toton dan panitera PN Kota Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy yang diduga menerima suap terkait kasus tipikor penyalahgunaan honor Dewan Pembina RSUD Bengkulu tahun 2011 dan keempat 15 Juni 2016, OTT terhadap panitera PN Jakut Rohadi untuk pengurusan perkara perbuatan asusila yang dilakukan oleh Saipul Jamil.

"Kalau MA berkenan, kita bisa melakukan project capacity building bersama, mengingatkan pedoman perilaku hakim, kurikulum pengacara dan saya sebelum di KPK ikut mengajar 2000 hakim di seluruh Indonesia," tambah Syarif.

Menurut Syarif, hakim termasuk penegak hukum yang paling tinggi gajinya.

"Hakim yang baru diangkat itu gajinya lebih dari Rp10 juta, sedangkan hakim agung mencapai Rp20 juta ke atas. Remunerasi tidak bisa dijadikan alasan. Saya sebelum di KPK ikut juga memperjuangkan tingkat gaji di MA dan akhirnya dikabulkan, dan bahkan hakim tingkat bawah dapat penghargaan dari pemerintah. Namun memang itu hanya untuk hakim, belum panitera mungkin ke depan bisa dipikirkan bersama dengan MA dan KY agar bersama ke depan dibentuk program capacity building bersama," tambah Syarif.

Menurut Syarif, MA sudah memiliki cetak biru yang baik untuk memperbaiki lembaga peradilan, dan tinggal mengerjakannya saja.

"Reformasi di MA saya ingin tegaskan bahwa bukan KPK yang akan mereformasi MA, tapi kalau MA ingin menggandeng KPK dalam proses reformasi mereka kami bersedia. Tapi tidak ada niatan untuk KPK melakukan reformasi MA karena mereka lembaga independen sendiri tapi kami siap membantu," tegas Syarif.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016