Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan memperkuat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai satu-satunya landasan sawit berkelanjutan di Indonesia setelah bubarnya manajemen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) yang ditandatangani enam perusahaan.

Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir di Jakarta Jumat menyatakan sebagai standar tunggal sawit berkelanjutan di Indonesia, ISPO akan diperkuat dengan mengadopsi best-practices standar internasional yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

"Standar ini perlu agar produk sawit Indonesia dapat bersaing di pasar internasional sejalan dengan kepentingan strategis Republik Indonesia," katanya.

Terbentuknya IPOP diinisiasi oleh Kadin di sela-sela KTT Iklim yang berlangsung di Markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York, AS pada 24 September 2014. Ikrar tersebut ditandatangani oleh empat perusahaan sawit, yakni Golden Agri Resources, Wilmar, Cargill dan Asian Agri.

Namun dalam praktiknya, IPOP ini banyak ditentang oleh perusahaan sawit menengah dan kecil, serta para petani sawit karena CPO dan tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan tidak bisa diserap oleh perusahaan anggota IPOP dengan alasan tidak sustain.

Pemerintah pun menolak pemberlakuan IPOP di Indonesia karena bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

Sementara itu Gamal menyatakan usai deklarasi pembubaran IPOP dari para penanda tangan, pemerintah akan mengeluarkan surat resmi yang menyatakan Manajemen IPOP telah bubar.

Surat tersebut dinilai sangat berguna, khususnya dalam menghadapi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Saat ini, KPPU menyelidiki adanya dugaan kartel yang dilakukan anggota IPOP.

"Saya sudah konsultasi dengan Menteri Pertanian, dan akan saya keluarkan surat pemberitahuan kalau anggota IPOP sudah menghadap saya dan menyatakan membubarkan diri," jelas Gamal.

Selain digunakan untuk keperluan menghadapi KPPU, tambahnya, surat itu juga diperlukan sebagai pemberitahuan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan sejumlah instansi terkait.

Menurut Gamal, dirinya sebagai pemegang otoritas di sektor perkebunan kelapa sawit, termasuk para petani, sejak awal tidak setuju dengan IPOP. Oleh karena itu, mantan anggota IPOP selanjutnya wajib hanya tunduk kepada aturan main pemerintah Indonesia.

Keenam perusahaan tersebut, kata Gamal, menyatakan kesediaannya untuk bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia dengan melebur ke dalam standar ISPO.

Sementara itu Wakil Ketua Kadin Bidang Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Shinta Widjaja Kamdani mengatakan pihaknya akan mengikuti kemauan anggota IPOP yang mengajukan pembubaran diri.

"Kalau anggota ingin bubar, silakan saja. Nanti kami akan fasilitasi dengan pemerintah untuk mencari solusi lain," ujarnya.

Namun, Shinta meminta pemerintah untuk memikirkan dampak dari pembubaran IPOP di mata internasional, karena standar global meminta kelapa sawit melakukan industri yang berkelanjutan.

Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Achmad Mangga Barani meminta Kadin maupun pemerintah agar sebelum mengambil kebijakan di komoditi kelapa sawit sebaiknya melibatkan pemangku kepentingan.

Minimal, tambahnya, dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), dan Dewan Minyak Sawit Indonesia.

"Tujuannya agar persoalan IPOP ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari," kata mantan Dirjen Perkebunan itu.

Pewarta: Subagyo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016