Sekitar enam juta disabilitas yang ada di Indonesia masih dianggap sebagai "orang sakit". Sebagai orang sakit maka mereka harus didampingi setiap saat.

"Padahal mereka sangat mandiri, namun bangunan, infrastruktur, transportasi tidak tumbuh untuk kepentingan mereka," kata Koordinator Satgas Perlindungan Anak (PA) Ilma Sovri Yanti.

Dia melaksanakan kampanye "Mudik Ramah Disabilitas" sejak 2015.

Dia menyambut baik pada tahun ini, salah satu bank syariah telah memfasilitasi para disabilitas termasuk pengguna kursi roda untuk ikut mudik gratis.

Dia berharap ke depan lebih banyak perusahaan yang tergerak untuk ikut memfasilitasi kaum disabilitas tersebut, karena menurut Ilma memiliki mobil akses disabilitas tidaklah memakan biaya yang besar.

Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Jakarta Leindert Hermeinadi mengatakan untuk membuat sebuah mobil akses disabilitas membutuhkan biaya sekitar Rp300 juta hingga Rp450 juta.

"Itu untuk kendaraan mini bus yang dapat memuat empat pengguna kursi roda dan enam disabilitas jenis lainnya," kata pria yang akrab disapa Didi tersebut.

Menurut dia, di seluruh Jakarta hanya ada enam mobil akses disabilitas dan jumlah itu sangat sedikit untuk mengakomodasi para disabilitas.

Dia mengatakan yang dibutuhkan dalam sebuah mobil akses adalah sistem hidrolik, untuk mengangkut masuk pengguna kursi roda ke dalam mobil.

Kemudian mobil itu haruslah memiliki pendingin ruangan, agar para penumpang merasa nyaman di dalamnya, dan tentunya sopir harus siap mengantarkan para penumpang sampai ke tempat tujuannya.

Infrastuktur
Masalah mudik, tidak hanya mengenai transportasinya tetapi juga infrastruktur, seperti bandara, pelabuhan, stasiun dan terminal.

Menurut Ilma terminal bus adalah tempat yang paling tidak ramah bagi kaum disabilitas.

Satgas PA pernah melakukan peninjauan ke beberapa terminal di Jakarta bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, salah satunya adalah Terminal Bus Kampung Rambutan.

Menurut catatan Satgas PA pengguna kursi roda yang hendak masuk kamar mandi di terminal itu banyak mengalami kesulitan, mulai dari tidak adanya tempat naik kursi roda yang landai, pintu kamar mandi yang sulit dimasuki, tidak tersedia pengangan atau titian selama di kamar mandi agar bisa pindah dari kursi roda ke "closet".

"Jika tempatnya lebih luas dengan jalan yang landai, sebenarnya akan membantu para disabilitas dan para ansia melangkah. Begitu juga orang yang mengalami stroke atau orang yang sedang lemah, tetap bisa mengakses kamar mandi," katanya.

Dia berharap sejak ada UU No. 8 tahun 2016 tentang Disabilitas diberlakukan, maka ke depan akan ada perbaikan berbagai infrastruktur dan sarana transportasi publik yang terintegrasi yang ramah bagi kaum disabilitas.

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengakui infrastruktur yang tersedia belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan para disabilitas.

Menurut dia memang melayani pengguna kursi roda cukup sulit dibandingkan dengan penyandang disabilitas yang lain.

Dia mengatakan saat ini bandara, stasiun, pelabuhan agak kesulitan melayani pengguna kursi roda.

"Kalau untuk disabilitas lainnya kita sudah memiliki keterangan audio maupun visual cukup untuk para penumpang disabilitas. Namun tantangan kita melayani pengguna kursi roda. Saya harap tahun-tahun berikutnya bisa ditingkatkan," kata Jonan.

Dia menilai bandara adalah tempat yang paling siap melayani para disabilitas saat ini, sementara stasiun kereta api, pelabuhan dan terminal bus belum ramah disabilitas.

"Kalau stasiun besar sudah cukup ramah tapi kalau stasiun kecil belum memiliki fasilitas untuk penyandang disabilitas," kata dia.

Dia juga menyarankan agar pemudik disabilitas didampingi orang tertentu dalam melakukan perjalanan karena kondisi yang biasanya sangat ramai.

"Karena sekarang sangat padat, maka sebaiknya ada yang mendampingi. Jika tidak ada pendamping, bisa dilaporkan ke petugas agar dibantu," kata Jonan.

Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016