Jakarta (ANTARA News) - Ulama itu sama dengan orang berilmu, cerdik pandai atau cendekiawan.

Akan tetapi, umum telah menyalahterjemahkan sebagai orang yang menguasai ilmu agama, wabil khusus Islam. Mungkin, itu berkat pengaruh kuat Nadhlatul Ulama (NU).

Tentu, ulama meliputi penganut berbagai agama dan menguasai tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu pengetahuan umum dan teknologi.

Oleh karena itu, ulama meliputi juga budayawan. Seseorang bisa menyandang atribut ahli agama dan spesialis ilmu tertentu. Kyai Gus Mus(tofa) Bisri, pimpinan sebuah pesantren di Rembang, Jawa Tengah, adalah seseorang yang menyandang atribut ahli agama dan budayawan.

"Ulama terburuk adalah yang mengunjungi penguasa, sedangkan penguasa terbaik adalah yang bertamu kepada ulama", demikian kata Jalaluddin Rumi, guru spiritual Islam dan jenius sastra, dalam diskursus pertama di buku "Fihi ma Fihi".

Maksud ungkapan itu bukan ulama tidak boleh mengunjungi penguasa, melainkan agar ulama tidak takut untuk menyampaikan kebenaran kepada penguasa hanya karena demi imbalan uang dan kedudukan resmi yang terhormat.

Para ulama sebelum Rumi sangat berhati-hati: mereka menjaga jarak dengan kekuasaan untuk mempertahankan martabat mereka. Mereka menolak pemberian, termasuk uang lelah dari jasa mengajar. Itu dianggap sebagai aib.

"Dodol ngelmu (jual ilmu)", kata orang Jawa. Oleh karena itu, kitab "Wulangreh" memberi petunjuk carilah guru yang sudah "mungkul" (tidak berpikir) tentang pemberian".

Dekat dengan penguasa dulu juga dianggap sebagai penyebab fitnah seperti Sabda Rasulullah Muhammad SAW: "Barangsiapa berada di pintu penguasa, ia terkena fitnah" (Riwayat Ahmad).

Di zaman Orde Baru, sering terdengar anjuran agar umara (umaroh/pejabat pemerintah) mendekati ulama. Dan, anjuran itu betul-betul dilaksanakan, terutama menjelang Pemilu dengan tujuan untuk meraih suara para pengikut ulama, khususnya kyai, pimpinan pondok pesantren besar.

Hasil pendekatan itu antara lain bantuan yang mengalir ke ulama dan lembaga yang dipimpinnya, atau sang ulama direkrut menjadi pengurus partai penguasa, atau lembaga yang dipimpinnya menjadi binaan dan bahkan bagian dari partai penguasa.

Idealnya, memang ulama bersikap menjaga jarak dengan penguasa, bersikap independen dan netral kepada kekuasaan. Ulama sebaiknya berperan sebagai penjaga "nurani", pengingat peguasa yang lalai. Ulama adalah bagian dari "The tiny creative miniority" atau kelompok tipis minoritas kreatif yang berfungsi sebagai penggerak perubahan menuju kebaikan.

Ulama yang sekarang masih memegang teguh fungsi itu, antara lain adalah Buya Syafii Maarif, mantan ketum Muhammadiyah, dan Romo Frans Magnis Suseno. Mereka berdua, bersama sejumlah kecil tokoh nasional lintas agama dan disiplin ilmu dan ideologi, tampil ke depan sebagai pengingat pemerintah jika situasi dianggap gawat.

Contohnya, waktu terjadi upaya pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Akibat menggugat pemerintah dan membangunkan kesadaran akan rasa keadilan, tokoh Islam dan rohaniawan Katholik tersebut sempat dijuluki oleh seorang pejabat sebagai "gagak berjubah bangau". Astagfirullah.


Wartawan termasuk ulama

Menjadi penjaga nurani bangsa dan pengingat penguasa, memang bukan tanpa risiko. Peran ini telah dilakukan oleh wartawan dari zaman ke zaman di banyak negara dan benua. Peran itu dilakukan wartawan karena kesadaran mengemban tugas mulia, tugas kenabian, yakni menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan.

Bagi wartawan Muslim, pegangannya adalah Al-Quran, antara lain Surat Al-Kahfi, ayat 56 (QS 18:56): "Dan, tiada Kami utus para rasul, kecuali untuk menyampaikan kabar gembira dan pemberi peringatan" dan empat akhlak mulia Muhammad Rasulullah: siddiq (benar), tabligh (mendidik), amanah (dapat dipercaya) dan fathonah (bijak).

Ada hadist yang mengatakan: "Tinta ulama lebih mulia daripada darah syuhada". Tinta ulama itu maksudnya termasuk tulisan wartawan. Karena untuk menjadi wartawan seseorang perlu menguasai multidisiplin ilmu, maka wartawan tergolong ulama juga.

Untuk menjalankan tugas kenabian, wartawan harus berjiwa relawan, bekerja tanpa pamrih, kecuali sebagai ibadah. Tentu, gaji dan perlengkapan untuk bertahan hidup agar dapat menjalankan peran secara optimal perlu disediakan, tapi tidak berlebihan. Itulah yang saya sebut wartawan profetik (bisa lintas agama).

Lalu, apakah ulama, termasuk wartawan dan relawan, tidak boleh berpolitik?

Ya, boleh saja, karena itu hak azasi. Tapi, waktu menjalankan perannya, ia pertama-tama harus ingat: 1. iman, 2. manfaat bagi kepentingan orang banyak berlandaskan kebenaran, sesuai iman yang diyakininya, 3. akal sehat yang dapat diterima umum: lintas agama, bangsa, budaya, disiplin ilmu, profesi dan ideologi atau singkatnya demi kemanusiaan.

Lalu bagaimana partai politik berbasis agama? Partai politik dalam era demokrasi adalah sebuah keniscayaan untuk memperjuangkan kepentingan, termasuk tujuan agama. Tentu, itu tak bisa dilarang. Tapi pelakunya harus ingat: menjaga kesucian hati (niat) sebagai cermin Cahaya Tuhan seperti diajarkan agama. Idem ditto, anggota organisasi cendekiawan berbasis agama.

Semuanya itu boleh saja, tapi harus selalu diingat perlunya menjaga jarak dengan kekuasaan, termasuk kekuasaan internal yang dipegang pengurus organisasi. Dan, lebih-lebih lagi: kekuasaan nafsu pribadi masing-masing. Kekuasaan itu memabukkan, hingga penguasa perlu terus diingatkan dan diperbaharui.

Ungkapan Lord Acton: "Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely" perlu diingat oleh siapa pun, yang mengemban kekuasaan, termasuk di organisasi berbasis agama. Kuncinya: jagalah kesucian hati. Singkat kata, wartawan dan media massanya sebaiknya tidak menjadi "tukang stempel" membenarkan tindakan penguasa atau menjadi bagian dari kekuasaan yang memerintah. *


*Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

(A015/A011)

Oleh Parni Hadi*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016