Baghdad (ANTARA News) - "Saya bertanya-tanya apakah cukup buat para pejabat AS dan Inggris untuk mengatakan mereka menyesalkan serbuan ke Irak sebab itu adalah kekeliruan," demikian ungkapan perasaan seorang warga Irak yang bernama Um Ibrahim.

"Bagaimana dengan kehidupan keluarga saya, yang berubah jadi penderitaan akibat perang? Bagaimana dengan anak-anak dan suami saya --yang kehilangan nyawa mereka dalam kekacauan dan kerusuhan berdarah?" wanita itu mempertanyakan, lapor Xinhua/OANA.

Perempuan tersebut, yang berusia 50-an tahun, bersama dua putrinya dan seorang cucunya --yang berusia tujuh tahun-- berjuang bagi kelangsungan hidup mereka setelah ia kehilangan suaminya dalam satu pertempuran antara tentara AS dan gerilyawan Irak sekitar 11 tahun lalu di Ibu Kota Irak, Baghdad.

Pada akhir 2006, ia kehilangan dua putranya, ketika anggota milisi membawa mereka pergi dari rumah mereka di permukiman pinggiran utara Baghdad, Hurriyah, dan menembak mereka, demikian laporan Xinhua. Kematian warga sipil seringkali terjadi setelah 2006 di negeri tersebut, setelah serbuan pimpinan AS menghancurkan sistem politik dan menyulut pergolakan antar-golongan.

Pada 2006, sekelompok pria bersenjata membom tempat suci Askari, salah satu tempat paling suci buat umat Syiah di Kota Samarra, 120 kilometer di sebelah utara Baghdad. Peristiwa itu menyulut gelombang kerusuhan sektarian di seluruh Irak, termasuk di ibu kotanya.

Keluarga Um Ibrahim dipaksa meninggalkan rumah mereka, dan bergabung dengan sebanyak 300 keluarga Sunni, yang juga dipaksa menyelamatkan diri dari permukiman yang didominasi kaum Syiah di Hurriyah.

Lebih dari 100 orang menemui ajal saat itu dan lima tempat ibadah dibakar selama kerusuhan lima-bulan di permukiman tersebut.

"Keluarga saya dan saya dulu hidup dalam kedamaian di sana. Saya tak pernah menyangka bahwa suatu hari mereka akan membunuh putra saya. Mereka sebelumnya berteman," kata Um Ibrahim di satu kios kecil sayuran di pasar di permukiman yang kebanyakan warganya pemeluk Sunni, Ghazaliyah, di sebelah barat Baghdad.

"Kami sering hidup dalam kesulitan sebelum serbuan, terutama akibat embargo atas rejim Saddam, tapi hidup dalam kedamaian dan kebahagian dan saya ingat suamia saya dan saya memiliki harapan dan impian mengenai bagaimana putra-putri kami akan tumbuh dewasa dan bagaimana masa depan mereka," kata perempuan itu.

"Tapi semuanya telah hilang. Sekarang kami kelaparan, kehilangan tempat tinggal dan merindukan keselamatan," katanya.

"Mereka membunuh dua putra saya sebab mereka menolak untuk meninggalkan permukiman itu. Saya memohon agar mereka pergi, saya memohon kepada mereka," kata Um Ibrahim. Ia menyeka mukanya dengan menggunakan sapu-tangan sementara air mata mengalir di kedua pipinya.

Serbuan ke Irak pada 2003 oleh AS, Inggris dan negara lain koalisi adalah bencana buat sebagian besar warga Irak. Menurut data Pemerintah Irak, ratusan ribu warga sipil kehilangan nyawa dalam konflik setelah serbuan 2003, sedangkan perhitungan tak resmi memperkirakan jumlah korban jiwa akibat aksi militer dan pergolakan antar-kelompok mencapai lebih dari satu juta.

Perang Irak juga membuat 3,4 juta orang kehilangan tempat tinggal di dalam negeri itu dan lebih dari dua juta orang di luar negeri di negara dengan lebih dari 34 juta warga tersebut.
(Uu.C003)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016