Di setiap Lebaran, sejumlah pejabat menyelenggarakan perhelatan dengan membuka pintu rumah mereka bagi kerabat, handai tolan dan bawahan untuk berhalalbihalal.

Sebagian di antara mereka menyebut acara perhelatan itu sebagai peristiwa halalbihalal, sebagian menggunakan istilah yang berasal dari kosakata Inggris, "open house".

Tepatkah menggunakan istilah "open house" untuk kegiatan halalbihalal di saat Lebaran? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlulah di sini diuraikan makna "open house" itu.

Menurut Wikipedia, "An open house" adalah sebuah kegiatan yang diselenggarakan di sebuah lembaga yang pintu-pintunya terbuka bagi warga masyarakat untuk mengizinkan mereka memasuki ruang-ruang yang ada di lembaga tersebut, sehingga masyarakat memperoleh informasi dari sana.

Sekolah, universitas, biasa menyelenggarakan kegiatan seperti ini. Tujuannya menarik minat calon-calon siswa dan mahasiswa dengan memperlihatkan fasilitas yang mereka miliki dan menjalin komunikasi informal di antara mereka.

Sekolah juga bisa menyelenggarakan "open house" untuk kalangan siswa dan orang tua atau wali murid dengan tujuan mengakrabkan hubungan antara wali murid dan sekolah atau saling tukar informasi mengenai kemajuan dan problem yang dialami siswa di sekolah.

Namun, belakangan istilah "open house" juga digunakan oleh pengusaha rumah, rumah susun untuk memasarkan jualan mereka kepada calon pembeli. Pengusaha atau pengembang menyelenggarakan acara itu dengan mengundang calon pembeli atau siapa pun yang berminat untuk melihat-lihat fasilitas dan kamar-kamar yang ada dalam rumah atau rumah susun yang dipasarkan itu.

Karena gencarnya penggunaan frasa "open house" itulah, sejumlah pejabat tersihir untuk ikut-ikutan menggunakan istilah itu dalam perhelatan halalbihalal yang mereka selenggarakan di saat Lebaran.

Jika ketat dengan pemakaian bahasa, penggunaan istilah "open house" untuk kegiatan halalbihalal jelas kurang disarankan. Pilihan kata "halalbihalal" atau "silaturahmi"/"silaturahim" lebih pas agaknya.

Di kalangan pemerhati dan peminat masalah bahasa Indonesia, ada usaha menemukan padanan "open house" dalam bahasa Indonesia. Sejumlah padanan yang ditawarkan antara lain "gelar griya", "sambang griya".

Kedua istilah yang ditawarkan itu tampak mencoba menerjemahkan makna "open house" dengan mencari padanan kata per kata sehingga maknanya tertangkap oleh pembaca.

Penerjemahan semacam ini agaknya tak memuaskan sebagian khalayak. Oleh sebab itu, mereka lebih memilih "halalbihalal" sebagai terjemahan untuk "open house" khas Lebaran itu.

Dengan demikian, tak perlulah jurnalis menulis berita seperti ini: "Ketua MPR Zulkifli Hasan menggelar open house pada hari pertama Lebaran." Cukuplah mengganti "open house" itu dengan "halalbihalal".

Tentu, jika ditelusuri pemaknaannya, "halalbihalal" tak sama persis dengan "open house". Pada istilah yang pertama, pengunjung hadir mungkin sebatas pada para tamu yang mengenal tuan rumah, sedang pada istilah yang kedua, tamu yang diundang bisa siapa saja, masyarakat umum.

Untuk itu, istilah "halalbihalal" dirasa kurang menjangkau makna yang dikandung "open house". Ada yang mengusulkan "pisowanan" sebagai sinonim "open house".

"Pisowanan" adalah kata bentukan dalam bahasa Jawa dari "sowan", yang artinya "berkunjung". Namun, konsep ini mengandung nilai sosio-kultural yang menempatkan pengunjung berada dalam strata sosial yang lebih rendah dari tuan rumah.

Dalam "pisowanan", raja sebagai tuan rumah membuka pintu keraton bagi rakyat untuk bertatap muka dan berdialog. Karena mengandung ketaksetaraan sosial dan beraroma feodel itulah, para pemerhati masalah bahasa Indonesia yang berasal dari latar belakang bukan Jawa merasa kurang nyaman menerima "pisowanan".

Sinonim lain yang terlontar di kalangan pemerhati masalah bahasa Indonesia untuk "open house" adalah "pintu terbuka". Lontaran istilah ini juga mencoba menerjemahkan "open house" secara kata per kata.

Sejauh ini belum ada kata sepakat di kalangan pemerhati dan ahli bahasa untuk memilih sinonim mana yang paling tepat. Mereka, yang sebagian besar adalah sarjana dan ahli bahasa yang bekerja di Badan Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu, berencana membahasa masalah itu dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan di Bandung pada 5 Agustus mendatang.

Yang ideal memang menemukan satu kata, bukan frasa, yang bisa menjadi sinonim untuk "open house". Pencarian sinonim dengan satu kata untuk istilah yang berupa frasa dalam bahasa Inggris dan berterima terjadi antara lain untuk "working paper", yang semula diterjemahkan menjadi "kertas kerja" dan kini telah mantap tergantikan dengan sinonim "makalah".

Seperti ditulis Qaris Tajudin, "makalah" diambil dari bahasa Arab, "maqaalah" yang semula berarti "diskusi", "obrolan" tapi kemudian bisa berarti "artikel". Perubahan atau penambahan makna itu berkaitan dengan konteks kesejarahan bahwa dulu transfer ilmu dilakukan secara lisan dan dihafal, dan kini upaya itu dilakukan secara tertulis, lewat buku dan artikel.

Tampaknya, pemadanan "open house" dengan "gelar griya", "sambang griya", "pintu terbuka" untuk sementara bisa dipertimbangkan oleh pengguna sampai saatnya nanti ada yang menemukan sinonim yang tepat yang menggantikan padanan berupa frasa itu.

Bukankah pada mulanya publik terbiasa dengan "kertas kerja" untuk menerjemahkan "working paper" sampai akhirnya ditemukan sinonim yang lebih ringkas dan berterima bernama "makalah"?

Yang cukup mengherankan adalah masih adanya sikap meninggalkan istilah yang sudah mantap itu untuk kembali pada istilah asing hanya karena hasrat keblinger berupa rasa bangga menggunakan istilah asing.

Bukankah anda sering membaca dalam spanduk sebuah acara dengan menggunakan istilah "workshop", alih-alih "loka karya"?

Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016