Namun, saya kira perkembangan infrastruktur tersebut bertahap."
Jakarta (ANTARA News) - Keberhasilan Pertamina mencapai swasembada solar per Mei 2016 tidak hanya mengurangi beban anggaran negara yang selama ini dikeluarkan untuk impor bahan bakar minyak (BBM) tersebut, tetapi juga berpotensi memberikan tambahan devisa negara melalui ekspor solar.

"Namun, surplus solar umumnya hanya temporer, masih ada potensi kebutuhan kita akan meningkat lagi," ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, pencapaian Pertamina yang berhasil membukukan surplus produksi solar harus dipuji. Selama ini konsumen utama solar adalah sektor industri dan transportasi. Dengan berkembangnya infrastruktur gas, baik untuk industri dan transportasi, permintaan solar memang berpotensi turun.

"Namun, saya kira perkembangan infrastruktur tersebut bertahap. Daerah-daerah yang belum terjangkau jaringan gas akan tetap menggunakan solar mengingat distribusi solar lebih fleksibel dibandingkan gas," ungkapnya.

Komaidi mengatakan campur tangan pemerintah tentu harus memberikan jaminan bahwa solar yang sudah diproduksi bisa diserap, baik pasar dalam negeri maupun diekspor.

Bahkan, dinilainya, jika perlu komoditas energi itu bisa dibeli pemerintah untuk menjadi cadangan bahan bakar minyak (BBM) nasional mengingat harganya sedang murah.

"Pilihannya bisa dijadikan stok atau diekspor. Jika diekspor, hampir semua negara di Asia potensial. China, Korea Selatan, Jepang dan India merupakan daftar negara yang dapat menjadi prioritas," ujarnya.

Optimalkan

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Hanura, Inas Nasrullah Zubair, mengemukakan bahwa Pertamina harus bisa mengoptimalkan penyaluran solar dalam negeri dengan melakukan ekspor. Pertamina bisa menginstruksikan PT Patra Niaga, anak usaha perseroan, untuk memasarkan produksi solar yang surplus.

"Pemerintah juga harus mendukung dengan menerbitkan regulasi pembatasan impor swasta dan mewajibkan untuk menyerap produk kilang Pertamina," ujarnya menegaskan.

PT Pertamina (Persero) mencatat swasembada solar menyusul pengoperasian Residual Fluid Catalytic Cracker (RFCC) Cilacap di Jawa Tengah dan Kilang Trans Pacific Petroleum Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, pada Mei 2016.

Seiring pengoperasian RFCC Cilacap dan Kilang TPPI, Pertamina sudah tidak mengimpor solar. Bahkan, Pertamina memprediksi pada 2023 akan terjadi swasembada semua jenis BBM karena produksi kilang mencapai dua juta barel per hari.

Unit RFCC mengolah feed stock berupa Low Sulfur Waxy Residue (LSWR) sebanyak 62.000 barel per hari (bph) menjadi produk bernilai tinggi, yaitu HOMC sebanyak 37.000 bph. Dari produksi HOMC tersebut, sebagian besarnya diproses lebih lanjut untuk diproduksikan menjadi premium.

Dengan demikian, produksi premium dari kilang Cilacap naik dari 61.000 bph menjadi 91.000 bph. Sementara itu, kilang TPPI dapat mengolah sekitar 100.000 barel per hari kondensat dan naphta.

Dari pengolahan bahan baku dengan mogas mode akan diperoleh beberapa produk minyak, seperti LPG, Solar, Fuel Oil, Premium, dan HOMC. TPPI dapat menghasilkan sekitar 61.000 bph premium, 10.000 bph HOMC, dan 11.500 bph solar.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan penghematan devisa impor BBM jenis solar senilai Rp27 triliun dari pemakaian biodiesel pada 2016.

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016