Jakarta (ANTARA News) - Sekarang ini zaman kebebasan informasi hampir tanpa batas.

Informasi dalam bentuk tulisan, gambar dan suara dapat menyebar luas dengan cepat dan murah. Hampir tanpa hambatan teknis dan "filter" norma dan etika moral, agama, budaya, tata krama, dan kewarasan akal.

Buktinya, banyak. Setelah sebuah informasi yang membuat kegaduhan publik, entah karena pujian atau cemoohan, dengan mudah diketahui bahwa informasi itu ternyata "hoax".

Hoax (dibaca heuks), menurut kamus Inggris Advanced Learners Dictionary, berarti tipuan atau palsu dengan tujuan untuk melucu. Dengan gampang orang kebanyakan mengucapkannya sebagai "hoak". Begitu dinyatakan "hoax", kegaduhan pun segera usai. Keadaan normal kembali seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Dengan gampang orang memaklumi dan memaafkannya.

Itulah yang disebut "kebebasan yang kebablasan" berkat kemajuan teknologi informasi. Dengan bantuan handphone (hp) dan berbagai bentuk "gadget" lainnya, informasi dapat menyebar luas lewat sms, facebook dan WA. Informasi dengan gambar dan suara yang jelas dan lugas (kadang-kadang mengerikan, menjijikkan, seronok, jorok) tersebar dengan cepat membanjiri publik.

Itu akibat media sosial tidak mengenal adanya redaktur, pemimpin redaksi dan penanggung jawab. Yang ada "admin" (administrator), pengatur lalu lintas informasi yang cenderung berfungsi sebagai "penggelontor" informasi tanpa sensor. Ini akibat maraknya budaya "copas" (copy and paste) dari kebanyakan orang, tanpa membaca dan mengerti apa isi informasi yang diteruskan. Kalau ketahuan bahwa ternyata informasi palsu atau penipuan, orang pun segera berseru "hoax, hoax". Cuma itu, setelah itu "cuek bebek".

Sementara "hooaak, hooeek" adalah bunyi yang keluar dari mulut seseorang kalau sedang diserang "masuk angin" atau perut kembung. Bunyi itu baru berhenti, kalau isi perut sudah keluar (muntah) setelah "dikerokin" atau perutnya diolesi minyak angin dan atau ia minum jamu tolak angin. Atau, angin yang menyesakkan perut dan dada itu keluar lewat belakang (kentut).

Ada "Hoaak, hoeek" sebagai tanda kabar gembira, yakni bunyi yang sering keluar dari mulut perempuan yang sedang hamil muda. Ngidam dalam bahasa Jawa, yakni "ingin sesuatu, umumnya makan atau minum, yang aneh-aneh". Jadi, kalau ada perempuan muda "hoaak, hoeek", belum tentu ia masuk angin, tapi kemungkinan perutnya "sudah kemasukan" janin alias hamil.

Permintaan orang ngidam, menurut kepercayaan orang kampung dulu harus dituruti, karena yang "ingin" itu bukan sang salon ibu, melainkan si jabang bayi. Jika tidak dituruti, ada kekhawatiran, sang bayi nanti akan lahir tidak seperti yang diidamkan (diharapkan). Itu hanya mitos!

Yang ngidam tidak mesti sang calon ibu bayi. Ada kalanya, sang calon ayah juga menunjukkan gejala ngidam. Terhadap gejala seperti itu, orang tua laki-laki di kampung dulu suka bilang setengah meledek: "Wah thok cer", sekali jadi juga anak laki-laki saya. Maksudnya, anaknya bisa berhasil "membuahi" istrinya dalam waktu singkat. Sang istri sudah hamil.

Dalam istilah spiritual Jawa, "thok cer" bisa dipadankan dengan ungkapan "senteg sepisan anigasi". Artinya, sekali berusaha untuk mendapat makrifat atau pengetahuan gaib, langsung dikabulkan oleh Tuhan, Sang Maha Gaib.


"Clearing House"

Kemudahan, kecepatan dan murahnya penyebaran informasi lewat medsos yang disebut berjasa untuk demokratisasi informasi (dan politik) bukan barang gratis, tetapi harus dibayar dengan semakin apatis dan individualistisnya anggota masyarakat, khususnya anggota WA, terhadap informasi baru. Kelemahan medsos adalah tidak bisa segera diverifikasi atau dicek ulang kebenarannya.

Merujuk pada sunatullah, hukum alam, bahwa: ada siang, ada malam, ada baik, ada buruk, sebuah dualitas, serba dua, yang saling melengkapi dan menjelaskan eksistensi masing-masing, mestinya media massa konvensional, termasuk stasiun radio, televisi, koran dan majalah, mengkapitalisasi ceruk kelemahan medsos yang sekarang digelari sebagai media baru itu. Yakni, dengan menjadi"clearing house" atau lembaga verifikasi yang memberi penjelasan, menjernihkan duduk-soalnya perkara yang menghebohkan akibat tersebar lewat medsos.

Tentu, yang paling wajib menjadi "clearing house" adalah lembaga atau media massa yang dibiayai dengan uang negara seperti Kemenkominfo, LPP RRI, LPP TVRI, Perum LKBN Antara dan lembaga humas pemerintah pusat dan daerah.

Maraknya "hoax" juga membuka peluang bagi LSM dan aktivis pro-kepentingan publik untuk berbuat kebaikan, yakni melakukan kampanye "literasi media" untuk masyarakat umum dan khususnya "admin" medsos. Ini kesempatan berbuat "pro-bono" (sukarela). Para anggota WA perlu dibuat "melek media" dalam memilah dan memilih informasi mana yang perlu dibaca dan kemudian di"copas" (diteruskan) kepada sesama anggota WA, dan para "admin" disadarkan akan tanggung jawab pada dampak positif dan negatif informasi yang diunggah.

Kemenkominfo perlu menyusun kode etik dan ketentuan tentang penyiaran medsos dengan masukan dari publik. Masukan dari publik sangat penting sebagai bentuk dukungan. Alasannya, di zaman kebebasan informasi ini setiap bentuk pengaturan cenderung akan ditolak oleh publik. Norma agama dan budaya serta akal sehat demi kepentingan bersama (publik, bukan kepentingan politik pemerintah belaka) perlu dipakai sebagai dasar utama bagi pengaturan penyiaran medsos.

Tanpa pengaturan yang jelas dengan sanksi yang tegas, "hoax, hoax" akan semakin marak dan bisa berdampak "hooaak, hooeek", pertanda orang mau muntah karena "mblenger" (kebanyakan konsumsi) informasi sampah, sumpah serapah dan bohong yang berdampak membodohi publik.

*Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA
periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

(A015/A011)

Oleh Parni Hadi*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016