Jakarta (ANTARA News) - Konsultan perpajakan dari kantor akuntan publik RSM Indonesia, Sentot A Priyanto, memprediksi kebanyakan wajib pajak akan memutuskan untuk mengikuti program pengampunan pajak di menit-menit akhir masing-masing periode perbedaan tarif tebusan.

"Wajib pajak berhitung, dan menyikapi pengampunan pajak dengan hati-hati. Lagi pula menghitung harta tidak bisa satu atau dua hari saja," kata Sentot kepada Antara ketika ditemui di Kantor RSM Indonesia, Jakarta, Kamis.

Sentot mengambil contoh pengalaman Sunset Policy 2008, di mana kebanyakan wajib pajak kurang paham namun tidak segera mencari tahu atau bersikap wait and see, sehingga mereka tidak bisa mengikuti program dengan baik karena menentukan di menit-menit akhir masa kebijakan.

Kebijakan pengampunan pajak di 2016 sendiri memiliki tata cara pembayaran uang tebusan berdasarkan tarif dikali harta bersih tambahan atau yang belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan terakhir.

Melalui UU Pengampunan Pajak, untuk tarif bagi harta yang direpatriasi ke Indonesia dikenakan 2 persen untuk periode I sejak berlakunya UU sampai akhir bulan ketiga. Kemudian, tarif 3 persen untuk periode II (bulan keempat berlakunya UU sampai 31 Desember 2016) dan 5 persen untuk periode III (1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017).

Sedangkan wajib pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa memindahkan harta ke dalam negeri akan dikenai tarif penebusan 4 persen, 6 persen, dan 10 persen dengan periode-periode yang sama.

"Wajib pajak biasanya last minute baru menentukan. Sebagai konsultan, saya sering menganjurkan kenapa tidak dari awal. Namun memang dari sisi wajib pajak, mengumpulkan data tentang aset tidak bisa cepat, sehingga biasanya konsultan yang kelimpungan," kata Sentot, yang juga menjabat sebagai Senior Tax Partner RSM Indonesia.

Sosialisasi kebijakan pengampunan pajak menjadi salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyebarkan aturan main kepada wajib pajak. Sentot mengatakan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan juga telah bekerja sama dengan para konsultan pajak untuk membantu sosialisasi.

"Kecenderungannya sosialisasi hanya di kota besar saja, sementara orang-orang kaya di tambang batu bara atau di perkebunan sawit juga perlu mendapat pengertian mengenai pengampunan pajak. Padahal individu semacam itu yang disasar, yang tidak kena-kena," kata dia.

Sentot mengatakan bahwa "tax amnesty" pada prinsipnya adalah bagaimana mampu memanfaatkan kesempatan dengan baik, sehingga ke depannya wajib pajak akan melaporkan asetnya lebih jujur dan teratur dan baik. "Kita tunggu hasilnya dalam setahun. Kalau surat pemberitahuan tahunan 2016 naik, maka program ini bisa dikatakan berhasil," kata dia.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo, Jumat (1/7), telah menandatangani pencanangan program pengampunan pajak. Pemerintah mengimbau seluruh wajib pajak yang menyimpan dana di luar negeri untuk berpartisipasi pada program pengampunan pajak yang dimulai 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017 dengan tujuan meningkatkan penerimaan pajak untuk pembangunan.

Kebijakan pengampunan pajak diproyeksikan mampu menambah penerimaan pajak hingga Rp165 triliun yang dapat bermanfaat bagi pembiayaan pembangunan.

Selain menambah penerimaan pajak, kebijakan tersebut juga mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan yang ditandai dengan peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi.

Program pengampunan pajak juga diharapkan mampu mendorong reformasi perpajakan serta perluasan basis data perpajakan.

(R031/Y008)

Pewarta: Calvin Basuki
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016