Washington (ANTARA News) - Amerika Serikat menggunakan diplomasi tenang untuk membujuk Filipina, Indonesia, Vietnam, dan negara-negara Asia lainnya tidak agresif merespons putusan pengadilan internasional yang membantah klaim China atas Laut Cina Selatan, beberapa pejabat pemerintah AS mengatakan pada hari Rabu.

"Apa yang kami inginkan adalah untuk menenangkan segalanya sehingga masalah ini dapat diatasi secara rasional bukan emosional," kata seorang pejabat, yang berbicara tanpa mau disebut identitasnya mengutip pesan-pesan diplomatik AS.

Beberapa dikirim melalui kedutaan AS di luar negeri dan misi asing di Washington, sementara yang lainnya disampaikan langsung ke pejabat tinggi oleh Menteri Pertahanan Ash Carter, Menteri Luar Negeri John Kerry, dan pejabat senior lainnya, kata sumber-sumber seperti diberitakan Reuters.

"Ini adalah panggilan selimut untuk tenang, bukan sejumlah upaya untuk menggalang wilayah ini terhadap China, yang akan bermain dalam sebuah narasi palsu bahwa AS memimpin koalisi untuk menahan China," tambah pejabat itu.

Upaya untuk menenangkan perairan menyusul putusan pengadilan di Den Haag, Selasa mengalami kemunduran ketika Taiwan mengirim kapal perang ke area itu, dengan Presiden Tsai Ing-wen berpesan kepada angkatan laut bahwa misi mereka adalah untuk mempertahankan wilayah maritim Taiwan.

Pengadilan memutuskan bahwa sementara China tidak memiliki hak bersejarah untuk area di dalam garis sembilan-dash yang diklaim, Taiwan tidak memiliki hak atas Itu Aba, juga disebut Taiping, pulau terbesar di Spratly. Taipei mengelola Itu Aba tetapi pengadilan menyebutnya sebagai "rock", menurut definisi hukum.

Para pejabat AS mengatakan mereka berharap inisiatif diplomatik AS akan lebih sukses di Indonesia, yang ingin mengirim ratusan nelayan ke Kepulauan Natuna untuk menegaskan kedaulatan atas daerah terdekat dari Laut Cina Selatan yang China mengatakan juga punya klaim, dan di Filipina, yang para nelayannya telah dilecehkan oleh penjaga pantai dan kapal angkatan laut China, demikian Reuters melaporakan.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016