Jakarta (ANTARA News) - Sudah saatnya pemerintah mengeluarkan peraturan presiden tentang lembaga eksaminasi putusan hakim guna menekan kesenjangan atau disparitas putusan hakim dengan persepsi masyarakat yang sekarang kian melebar sehingga peradilan tetap dijunjung tinggi dan dipercaya oleh masyarakat luas.

Nalar hakim dalam memutuskan suatu perkara, sebut saja bidang kepailitan misalnya, antara pengadilan negeri niaga tingkat satu, sering tidak paralel, bahkan kontradiksi dengan fakta sesungguhnya, sehingga perlu adanya lembaga eksaminasi guna membantu memberikan pemahaman kepada masyarakat luas.

Hal itu dikatakan Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Gunardi, usai sidang terbuka Promosi di Jakarta, Selasa.

Gunardi mencontohkan, kasus kepailitan yang pernah dialami Manulife Insurance, tahun 2000, Prudential Insurance, 2004, PT Dirgantara, dan PT Telkomsel tahun 2012 yang diputuskan oleh para hakim niaga tampaknya belum menggunakan penalaran hakim yang tinggi, sehingga masyarakat menjadi bingung.

"Benarkah PT manulife, Dirgantara dan Telkomsel dipailitkan lantaran tidak dapat membayar satu atau dua piutang seperti yang ditulis dalam UU Kepailitan No 37 Tahun 2004," katan Gunardi yang juga sebagai Ketua Yayasan Untar.

Sebagian besar masyarakat tidak percaya terhadap putusan itu karena menilai perusahaan yang dipailitkan masih mempunyai aset yang besar dan kepercayaan masyarakat tinggi, namun putusan pada PN Niaga tetap memailitkan.

"Inilah yang saya sebut adanya nalar hakim yang senjang sehingga perlu adanya lembaga eksaminasi," kata Gunardi.

Sidang terbuka yang dihadiri Rektor Untar, Prof. Roesdiman Soegiarso, Dekan Fakultas Hukum Dr. Ahmad Sudiro, Promotor Prof. Dr. Abdul Gani, dan penguji Prof. Dr. Mella Ismelina.

Gunardi menambahkan, putusan hakim dimana pun di seluruh dunia dipastikan adanya keragaman dalam pertimbangan sehingga melahirkan putusan yang berbeda.

Guna menekan adanya disparitas yang cukup tinggi terhadap persepsi masyarakat dan putusan para hakim, sesungguhnya di peradilan Indonesia sudah ada Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mengawasi dan mengontrol para hakim itu.

Namun tampaknya sebagian masyarakat kurang percaya sehingga, putusan pengadilan seolah tidak dipercaya.

Dalam disertasi yang berjudul "Penalaran Hukum Hakim Pengadilan Niaga Kepailitan Menurut Sistem Peradilan di Indonesia," Gunardi memaparkan model putusan hakim yang berbasis positivisme hukum dan keadilan hukum.

Dikatakan, putusan niaga untuk tingkat pertama lebih cenderung menggunakan positivisme hukum yang mengarah kepada kepastian hukum, sedang untuk di tingkat kasasi, menggunakan perspektif keadilan yang kadangkala mengabaikan kepastian hukum.

Pada titik itu, Gunardi mengatakan, guna menuju putusan hakim yang kredibel, putusan yang mengandung kepastian, kemanfaatan dan keadilan, dibutuhkan hakim yang bermoral tinggi.

Dalam sidang terbuka yang dipimpin Dekan FH Untar Ahmad Sudiro itu, Gunardi yang mendapat predikat cumlaude, menekankan perlunya rekam jejak seorang hakim yang baik sehingga dalam memutuskan suatu perkara mengandung tiga unsur tersebut.

Menangapi hal ini, Ahmad Sudiro menambahkan, jika masyarakat menangkap esensi dari disertasi Gunardi, ia menekankan perlunya ada lembaga yang dapat mengontrol putusan hakim sebagai second opinion atau kontrol sosial. Itulah perlunya dibentuk lembaga eksaminasi putusan.

(Y005/A011)

Pewarta: Theo Yusuf Ms
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016