Baghdad (ANTARA News) - Perdana Menteri Irak Haider Al-Abadi pada Selasa (19/7) menerima pengunduran diri lima menteri kabinet, sebagai bagian dari reformasi anti-korupsinya, yang meliputi perombakan mendasar kabinet.

Di dalam pernyataan singkat yang dikeluarkan oleh kantornya, Al-Abadi menerima baik pengunduran diri menteri perminyakan, perhubungan, pembangunan dan perumahan, sumber daya air, industri dan dalam negeri.

Menteri Dalam Negeri Mohammed Al-Ghabban mengajukan pengunduran diri kepada Al-Abadi pada 5 Juli, dua hari setelah pengeboman besar di daerah Karrada di Baghdad Tengah menewaskan sebanyak 165 orang dan melukai 225 orang lagi.

Tapi pengunduran dirinya secara resmi baru diterima dalam keputusan pada Selasa.

Pada Jumat (15/7), puluhan ribu orang Irak berpawai di Bundaran Tahrir di pusat Kota Baghdad sebagai tanggapan bagi seruan tokoh agama terkenal Syiah Moqtada As-Sadr untuk melindungi Irak dari sektarianisme dan korupsi.

As-Sadr tampil dalam pertemuan terbuka tersebut dan ikut meneriakkan slogan mereka, sebelum salah seorang pembantunya membacakan pidatonya.

As-Sadr menuntut pemecatan semua pejabat korup di lembaga pemerintah, termasuk pejabat tinggi, demikian laporan Xinhua.

Ia memperingatkan jika pemerintah gagal memenuhi tuntutannya, demonstran akan bertindak lebih jauh dan menuntut pengunduran diri presiden, perdana menteri serta ketua parlemen, tiga pemimpin tertinggi di negeri itu.

Al-Abadi melakukan perombakan mendasar di dalam kabinetnya pada penghujung Maret, ketika ia mengajukan daftar 14 calon ke parlemen bagi susunan kabinet baru termasuk teknokrat independen, tapi tindakan tersebut menghadapi penolakan dari partai lain di parlemen.

Beberapa blok politik dan politikus tampaknya tidak setuju dengan pembaruan semacam itu sebab mereka melihatnya sebagai cara untuk menyingkirkan faksi mereka dalam pemerintah yang mulanya dibentuk berdasarkan kesepakatan pembagian kekuasaan.

Serangkaian langkah pembaruan yang gagal telah melumpuhkan parlemen Irak dan pemerintahnya saat negara tersebut berjuang memerangi kelompok fanatik ISIS, yang merebut banyak wilayah di Irak Barat dan Utara.

Negara itu juga terperangkap dalam krisis ekonomi, sebagian akibat merosotnya harga minyak global.

Banyak rakyat Irak berpendapat bahwa serbuan ke Irak pada 2003 oleh AS, Inggris dan negara lain koalisi adalah bencana buat sebagian besar warga Irak.

Menurut data Pemerintah Irak, ratusan ribu warga sipil kehilangan nyawa dalam konflik setelah serbuan 2003, sedangkan penghitungan tak resmi memperkirakan jumlah korban jiwa akibat aksi militer dan pergolakan antar-kelompok mencapai lebih dari satu juta.

Perang Irak juga membuat 3,4 juta orang kehilangan tempat tinggal di dalam negeri itu dan lebih dari dua juta orang di luar negeri di negara dengan lebih dari 34 juta warga tersebut.

(Uu.C003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016