Sekarang sudah ada kesamaan pendapat"
Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan Indonesia tidak terikat dengan putusan Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda yang menyatakan kasus pelanggaran HAM 1965 putusan akhirnya ada pada Pemerintah Republik Indonesia.

"Kita tidak terikat dengan masalah itu, kita punya cara menyelesaikan urusan di negara sendiri," katanya di Jakarta, Jumat.

Persoalan pelanggaran HAM 1965 itu, kata dia, pernah dilakukan evalusi oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) dengan Komisi Nasional (Komnas) HAM.

Ia menambahkan tentunya masih banyak yang harus didiskusikan kembali karena selama ini menjadi semacam polemik antara dua lembaga, kejaksaan dan Komnas HAM.

"Sekarang sudah ada kesamaan pendapat," katanya.

Sebenarnya ada beberapa pihak yang menginginkan kasus itu dibawa ke pengadilan, namun pihaknya mengembalikan kembali apakah bisa membantu mencari buktinya.

"50 tahun yang lalu, bayangkan. Pelaku mungkin tidak ada lagi. Fakta buktinya sampai ke pengadilan, kan harus terpenuhi semua," katanya.

Pengadilan Rakyat Internasional untuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 1965 (IPT 1965) akan menyerahkan keputusan akhir kepada pemerintah, usai sidang yang dilaksanakan di Den Haag Belanda.

Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu, Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi.

"Putusan ini secara resmi akan diserahkan pula kepada Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kantor Staf Presiden," ujar Nursyahbani.

Ada pun laporan yang nantinya diserahkan ke Presiden Jokowi merupakan temuan pelanggaran HAM berat dalam wujud 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965-1966 terhadap anggota PKI, terduga anggota PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI) beserta keluarga mereka.

Tindakan kejahatan kemanusiaan tersebut meliputi pertama, pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar UU KUHP pasal 138 dan 140 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kedua adalah hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang. Ketiga, perbudakan, yaitu tahanan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930.

Keempat, penyiksaan yang dilakukan dalam skala besar terhadap tahanan pada masa terjadi pembunuhan massal dan pemenjaraan. Kelima, yaitu penghilangan secara paksa, dilakukan dalam skala besar dan banyak nasib korban tidak pernah diketahui.

Keenam adalah kekerasan seksual secara sistemik yang tercatat pada laporan Komnas Perempuan, baik secara lisan maupun tulisan. Ketujuh, terjadi pengasingan, yaitu warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya.

Kedelapan, tentang propaganda tidak benar atas versi resmi yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya. Kesembilan, adanya keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam kejahatan kemanusiaan di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965 meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda.

Terakhir, Indonesia dituduh telah melakukan genosida, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016