Jakarta (ANTARA News) - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengungkapkan dasar hukum mengapa pemerintah daerah (pemda) DKI menetapkan besaran tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak dikali tanah pulau reklamasi yang dapat terjual dalam raperda.

"Ada Keppres (Keputusan Presiden) No 52 tahun 1995 yang mengatur ruang daratan dan pantai. Kemudian saya melihat ada di perjanjian antara Pemda dengan Manggala Karya Yudha (MKY) yaitu perjanjjian 1997 yang menyebutkan bahwa ada kontribusi sumbangan pihak kedua berupa uang atau fisik infrastruktur nah sekarang kalau kita buat nilainya berapa? Dalam pasal 12 Keppres diamanatkan segala biaya reklamasi pantura dilakukan mandiri oleh gubernur bekerja sama dengan swasta, jadi tugasnya kami yang harus membuat perjanjian kerja sama dengan pengembang," kata Ahok di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin.

Ahok menjadi saksi dalam kasus suap mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan pegawainya Trinanda Prihantoro yang didakwa menyuap anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Partai Gerindra Mohamad Sanusi sebesar Rp2 miliar agar mengubah pasal yang mengatur kontribusi tambahan dalam Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta (RTRKSP) dari tadinya 15 persen menjadi 15 persen dari 5 persen kontribusi.

"Lalu kita membuat pertemuan dengan pengembang waktu itu Pak Areisman juga hadir di Pantai Mutiara. Kami temukan dokumen perjanjikan PT MKY ini 2013. Kami katakan nah uang ini berapa pengembang mau sumbang? Waktu itu bagaimana kalau sumbangan sebesar Rp1 juta per meter reklamasi, tapi pertanyaannya kenapa tidak Rp2 juta? Dan seterusnya lalu akhirnya saya katakan lebih baik buat perjanjian dulu, kalau mau reklamasi minta contoh surat perjanjian 97 ada sumbangan tambahan kontribusi tambahan yang nilainya bisa buat penanggulangan banjir, seperti pendirian rumah pompa, rusun, bendungan waduk," ungkap Ahok.

Namun perjanjian pemda dengan PT MKY itu tidak menyebutkan nilai atau persentase sumbangan dari perusahaan maka Ahok pun memerintahkan Dinas Tata Ruang untuk mencari nilainya berdasarkan pengalaman yang sudah ada yaitu reklamasi Ancol Barat.

"Lalu kami cari best practice dari dunia usaha. Ancol Barat itu total hasil reklamasi, kebetulan kerja sama anak perusahan BUMD. Berapa bagi hasil dengan DKI? Ternyata ditemukan DKI dapat 30 persen, BUMD dapat 70 persen, tapi kalau pakai ini nanti akan masalah juga karena mengapa bukan 100 persen? Jadi saya minta coba cari rumus kira-kira berapa tahun terakhir 30 persen dibandingkan NJOP nilainya berapa? Dapat angka 15 persen dari NJOP, itu yang mengkaji Biro Tata Ruang dan mengundang staf ahli untuk mengkaji," jelas Ahok.

"Jadi tidak asal ya?" tanya ketua majelis hakim Sumpeno.

"Tidak, ada rumusnya," jawab Ahok.

Hal itu berbeda dengan pernyataan Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Mohamad Taufik saat menjadi saksi pada 18 Juli 2016 yang menyatakan bahwa saat rapat pembahasan Raperda, pihak pemda yang diwakili oleh Sekretaris Daerah dan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) tidak bisa menjelaskan dasar hukum penerapan 15 persen tambahan kontribusi.

"Jelas di Keppres 52/95 pada pasal 4 disebut wewenang reklamasi Pantura Jakarta berada di Gubernur DKI, setelah itu tahun 1997 dilakukan reklamasi oleh Manggala Karya Yudha, hanya setelah krismon (krisis moneter) Mei 1998 reklamasi berhenti, baru kemudian pada 2010 gubernur waktu itu memberikan izin prinsip untuk reklamasi," tambah Ahok.

Saat ini menurut Ahok sudah ada beberapa pengembang yang menguruk pulau di pantura Jakarta.

"Ada beberapa pulau yang sudah diuruk, satu-satunya yang sudah selesai dan dimanfaatkan pulau M punya Pelindo yang kita kenal New Tanjung Priok itu pulau M, dan ini sudah selesai reklamasi. Kemudian pulau C sama D lagi masalah, pulau lain sedang pengurukan. Pulau G juga sedang pelaksanaan karena saya yang keluarkan izinnya tapi belum selesai karena baru diterbikan tahun 2014," jelas Ahok.

Pulau C dan D dikerjakan oleh PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan PT Agung Sedayu Group, kelompok usaha yang dibangun oleh Sugianto Kusuma alias Aguan sedangkan pulau G dilakukan oleh PT Muara Wisesa Samudra (MWS) yaiut anak perusahaan PT Agung Podomoro Land.

Dalam perkara ini, Ariesman dan Trinanda didakwa berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016