Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim, menyatakan, keberhasilan dalam mengatasi permasalahan reklamasi Teluk Jakarta merupakan acuan kinerja menteri koordinator bidang kemaritiman yang baru.

Menurut Halim, di Jakarta, Rabu, berbagai bukti pelanggaran yang dilakukan harus ditindaklanjuti dengan upaya penegakan hukum yang tegas. Hari ini pejabat lama di kementerian koordinator itu, Rizal Ramli, digantikan Luhut Pandjaitan.

Ramli juga yang saat itu mengumumkan keputusan tiga kementerian bahwa reklamasi sebagian Teluk Jakarta dihentikan dan hal itu langsung dipertanyakan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama.

Selanjutnya, ujar Halim, langkah itu juga perlu disertai dengan upaya memulihkan ekosistem perairan Teluk Jakarta dan dipenuhinya hak-hak konstitusional masyarakat pesisir. 

Kiara berpendapat, untuk melegitimasi proyek reklamasinya, Purnama selalu berlindung di balik alasan-alasan yang tidak prinsipil.

Padahal sejak awal, ujar Halim, Purnama mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 2338/2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra yang merupakan anak perusahaan Agung Podomoro Land (APL).

"SK ini terbukti melanggar banyak aturan yang lebih tinggi di atasnya," kata Halim.

Kiara mengurai berbagai aturan hukum lebih tinggi yang mereka katakan dilanggar terkait reklamasi Teluk Jakarta ini. Di antaranya UU Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas UU Nommor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Selain itu, ketiadaan rencana zonasi sebagaimana diamanatkan pasal 7 ayat 1 UU 27/2007, proses penyusunan AMDAL tidak partisipatif dan tidak melibatkan nelayan, reklamasi tidak sesuai dengan Prinsip pengadaan lahan untuk kepentingan umum sebagaimana UU Nomor 2/2012.

Selanjutnya, menurut Kiara, tidak ada kepentingan umum dalam reklamasi, melainkan hanya kepentingan bisnis semata, menimbulkan dampak fisik, biologi, sosial ekonomi, dan infrastruktur.

Juga dinilai menimbulkan kerusakan lingkungan dan berdampak kerugian bagi para penggugat (nelayan) dan mengganggu objek vital berupa PLTU, PLTGU Karang, PLTGU Muara Tawar, Pelabuhan Tanjung Priok, di sekitar proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Di tempat terpisah, pakar hukum tata negara, Irmanputra Sidin, berpendapat, penggunaan diskresi oleh Purnama agar pengembang pulau reklamasi Teluk Jakarta memberikan kontribusi tambahan sebesar 15 persen tidak bisa dipidanakan.

"Penggunaan diskresi harus oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan tujuannya. Semua pejabat pemerintahan bisa mengeluarkan diskresi" kata Sidin di Jakarta, Rabu (27/7).

Ia menjelaskan, diskresi merupakan tindakan atau kebijakan pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi, tetapi tak ada landasan hukum, atau ada landasan hukumnya tetapi tidak memberikan kepastian.

Pewarta: Muhammad Rahman
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016