Jakarta (ANTARA News) - Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan kasus vaksin palsu hanyalah fenomena gunung es dari permasalahan seputar farmasi, kedokteran dan rumah sakit. 

Rumah sakit mengaku "kecolongan" dengan adanya kasus ini, dan Tulus menilai ini adalah tanda pengawasan yang kurang ketat soal pengadaan obat di dalam rumah sakit. 

Begitu pemerintah mengumumkan daftar rumah sakit yang menyebarkan vaksin palsu, masyarakat sontak terkejut. Manajemen rumah sakit juga seakan tidak siap menghadapi para orangtua korban vaksin palsu.

"Pemerintah seakan lepas tangan setelah mengumumkan daftar rumah sakit," kata Tulus dalam Diskusi: Media IPMG: Solusi Menuntaskan Masalah Peredaran Vaksin Palsu di Jakarta, Jumat.

Di sisi lain, belum semua konsumen tahu informasi seputar dampak vaksin palsu hingga rekam data medis anaknya. Semua berujung pada kepanikan, bahkan tindak anarkis. 

Tulus menyayangkan, penegakan hukum masih lemah sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku.

"Proses penegakannya masih di hilir. Saya menduga yang ditangkap itu yang 'kecil-kecil'," ujar dia.

Bila pengawasan ketat, pengadaan obat hanya bisa dilakukan lewat satu pintu sehingga tidak ada celah untuk oknum yang melakukan penipuan.

Selain itu, penindak hukum harus mencari biang keladi dari peredaran vaksin palsu agar penipuan ini bisa tuntas hingga ke hilir.

Manajemen limbah farmasi juga harus diperbaiki agar tidak ada limbah farmasi yang dibuang sembarangan dan dimanfaatkan oknum untuk membuat vaksin palsu.

"Kepercayaan terhadap institusi kesehatan dan profesi kesehatan jadi hancur," katanya. "Kepercayaan itu harus dikembalikan."

Ia menambahkan, para orangtua yang masih waswas berhak bertanya sumber vaksin yang diberikan pada anaknya, baik itu pada dokter maupun humas rumah sakit bersangkutan.

Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan Pengawas Obat dan Makanan, Arustiyono, punya solusi lain terkait regulasi.

Revisi Peraturan Menteri Kesehatan akan memperluas kewenangan BPOM dalam mengawasi obat dan makanan. BPOM dulu hanya bisa mengawasi sarana produksi dan distribusi. Kini, BPOM punya akses memeriksa resmi atau tidaknya sumber pengadaan obat di rumah sakit. 

Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif IPMG mendukung penuh upaya dan solusi untuk mencegah insiden serupa di masa mendatang.

"Perlu sinergi antara pemerintah, asosiasi sektor kesehatan, serta masyarakat dalam memerangi pemalsuan yang tidak kalah penting untuk mencegah masalah ini terjadi lagi di kemudian hari." 

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016