Para penghafal Quran Insha Allah berhati bersih dan berpikiran lurus serta memahami masa depan karena mereka paham fenomenologi seperti yang disebutkan dalam Alquran,"
Jakarta (ANTARA News) - Salah seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) KH Hasyim Muzadi menyatakan bersyukur terkait banyaknya mahasiswa umum yang kini sudah mampu menghafal Alquran 30 juz.

"Para penghafal Quran Insha Allah berhati bersih dan berpikiran lurus serta memahami masa depan karena mereka paham fenomenologi seperti yang disebutkan dalam Alquran," kata KH Hasyim sebagaimana dikutip Sekretarisnya, Aas Subarkah di Jakarta, Rabu.

Menurut Aas, KH Hasyim mengemukakan pernyataan tersebut dalam seminar internasional terkait pesantren mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Jawa Timur, pada 29 Juli 2016.

Pada kesempatan itu ia menyampaikan presentasi dengan judul "Pesantren mahasiswa: keharusan integrasi keilmuan yang berbasis Alquran. Acara itu juga dihadiri para mahasiswa UIN Malang yang berasal dari 32 negara.

Dalam seminar tersebut pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Malang dan Depok itu juga mengemukakan banyaknya mahasiswa yang hafal alquran membawa optimisme tumbuh dan berkembangnya Islam "rahmatan lilalamin" (rahmat bagi sekalian alam).

Selain itu, integrasi keilmuan akan kembali menjadi milik dunia Islam apabila lembaga-lembaga pendidikan Islam pandai merumuskannya dalam prinsip-prinsip keilmuan, kurikulum, syllabus, dan karakterisasi mahasiswanya.

KH Hasyim menjelaskan Alquran sebagai kitab suci dan pegangan hidup dunia akhirat pasti berisi serba ilmu, baik ilmu yang terjangkau oleh kemampuan manusia maupun yang harus diterima melalui keyakinan atas kebenarannya.

Pada umumnya, menurut dia, kaum Muslimin masih sangat sedikit melakukan penggalian keilmuan dari AlqQuran, baik sebagai sumber keilmuan maupun sumber pengembangan penelitian, sementara keluasan dan kedalaman kandungan Alquran tidak terbatas.

Sampai hari ini kandungan yang tergali dan merupakan disiplin ilmu tersendiri baru sedikit, misalnya terkait ilmu tauhid (keimanan), ibadah (hablun minallah), dan fiqh (keilmuan legal formal di dalam hukum Islam), serta terkait sosial kemasyarakatan (menyangkut masalah sosiologi, kenegaraan, ekonomi, politik, hukum, dan budaya).

KH Hasyim juga mengemukakan pada mulanya, di awal kejayaan Islam, para Ulama Islam seperti Ibnu Sina, Al-Faraby, Ibnu Rusydi, dan Al-Khawarizmy merintis disiplin-disiplin keilmuan itu.

"Sayangnya, setelah berganti generasi, semangat penelitian itu padam, sehingga pengembangannya diambil alih oleh dunia Barat," katanya sebagaimana dikutip Aas Subarkah.

Di sisi lain, lanjutnya, umat Islam sendiri berpindah kesibukannya dengan pertikaian antar golongan dan sekte serta urusan kekuasaan dan formalisme negara (bukan substansi negara) dan kecintaan terhadap hidup duniawi, sehingga potensi mereka menjadi lemah.

Akibatnya, banyak orang Islam yang menjadi bodoh dan miskin serta berpecah belah. Lebih menyedihkan lagi, mereka menganggap penelitian keilmuan bukan bagian dari perintah Islam.

KH Hasyim juga menjelaskan alquran tidak hanya berisi ilmu kauniyat (kealaman) dengan segala kedalaman kandungan ilmu dan harmoninya, tetapi juga mengandung patokan tentang proses kealaman dan kemanusiaan yang biasa dikategorikan sebagai ilmu phenomenologi.

Artinya, setiap kejadian (fenomena) telah diberitahukan akibatnya oleh alquran, baik positif maupun negatif. Apabila seseorang berbuat sesuatu, sebenarnya alquran sudah memberitahukan apa akibat dari perilaku tersebut di kemudian hari.

Demikian juga fenomena kejadian alam dan kelompok sosial maupun kenegaraan serta gejala perubahan sosial baik positif maupun negatif, ataupun naik turunnya dinamika kenegaraan, baik kejayaan maupun keruntuhannya, semua telah dibentangkan oleh alquran, demikian KH Hasyim Muzadi.

Pewarta: Aat Surya Safaat
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016