Surabaya (ANTARA News) - "Kalau Orang Madura Naik Haji", bukan judul sinetron televisi, tetapi merupakan fakta penyelenggaraan ibadah haji di Jawa Timur pada tahun ini.

Ya, calon haji (calhaj) dari Madura akan menjadi kelompok terbang (kloter) paling awal yang berangkat dari Asrama Haji Embarkasi Surabaya pada 9 Agutus 2016.

"Calhaj asal Madura ada enam kloter yang diawali jamaah dari Sumenep, lalu Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Semuanya satu kloter lebih, kecuali Sampang yang tidak sampai satu kloter," ucap Kabid Haji dan Umrah Kanwil Kemenag Jatim HM Sakur di Surabaya (3/8).

Jadwal penyelenggaraan ibadah haji di PPIH Embarkasi Surabata mencatat kloter pertama dari Kabupaten Sumenep masuk Asrama Haji Embarkasi Surabaya pada 8 Agustus 2016 dan berangkat ke Tanah Suci pada 9 Agustus 2016.

"Kloter pertama dari Sumenep itu rencananya dilepas Gubernur Jatim Soekarwo dari Asrama Haji Embarkasi Surabaya pada Selasa (9/8) pukul 10:30 WIB," tuturnya, didampingi Kepala Humas Kanwil Kemenag Jatim Mahsun Zain.

Untuk penyelenggaraan haji 2016, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Surabaya akan menangani pemberangkatan 28.356 calon haji dari tiga provinsi yakni 27.323 calhaj dari Jawa Timur, 512 calhaj dari Bali, dan 521 calhaj dari Nusa Tenggara Barat (NTB).

Sebulan terakhir di Asrama Haji Embarkasi Surabaya, sejumlah pekerja sudah melakukan perbaikan semua fasilitas yang ada di asrama, seperti kamar penginapan calhaj dan lainnya, termasuk urusan administrasi calhaj, seperti visa dan paspor.

"Kami sudah membenahi kamar calhaj, seperti pembersihan, pengecatan, dan pengasapan atau fogging guna mengantisipasi demam berdarah. Kami juga menambah toilet untuk pemeriksaan kencing dari wanita usia subur," kata Kepala UPT Kantor Asrama Haji Sukolilo Surabaya, H Syamsul Anam.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, calon haji dari Madura biasanya banyak yang membawa barang terlarang, seperti gunting, benda cair, dan lainnya yang dilarang oleh pihak penerbangan, atau membawa barang dengan jumlah melebihi ketentuan dari Angkasa Pura.

Bahkan, pada musim haji tahun 2012 pernah ada seorang calon haji dari Pamekasan yang kedapatan membawa ratusan buku nikah palsu titipan rekannya yang bekerja di Arab, sehingga batal berangkat dan diproses secara hukum.

"Saya rasa untuk tahun ini kejadian seperti itu tidak akan terulang, karena sosialisasi sudah berkali-kali dilakukan oleh Kemenag setempat. Calhaj pasti sudah paham apa yang dilarang dan barang apa yang diperbolehkan untuk dibawa ke Tanah Suci," ujar HM Sakur.

Menurut Kabid Haji dan Umrah Kemenag Jatim itu, temuan hal yang menyalahi ketentuan penerbangan dari kalangan calhaj Madura biasanya merupakan titipan dari teman atau kerabat calhaj yang bekerja di Arab Saudi.

"Biasanya bawa rokok, tapi kalau cuma bawa rokok satu slop tidak apa-apa, tapi kalau rokok satu koper tentu akan disita," katanya.

Bersatunya Ritual-Kultur

Bagi orang Madura, kata pemerhati masalah Madura Syarif Hidayat Santoso, haji memiliki makna khusus, karena itu para haji dalam kultur Madura barat biasa disebut dengan towan. Karenanya, ada sebutan mas towan, kak towan, buk towan, atau pak towan.

"Ada dua pemaknaan towan di Madura. Secara istilah, towan sama artinya dengan tuan dalam Bahasa Indonesia. Namun, secara kultural, towan merupakan sebutan populer bagi komunitas Indo Arab yang berdomisili di Madura," katanya dalam opini pada sebuah media nasional (MI/18/12/2010).

Artinya, kalau seseorang disebut towan, berarti dalam darahnya mengalir darah hibrida Madura dan Hadramaut. Tapi, istilah ini ternyata dipakai juga untuk menyebut orang yang baru "toron ajji" (turun haji atau datang dari Tanah Suci).

Jadi, penisbahan istilah "towan" terhadap para haji tidak menunjukkan intervensi terhadap kemapanan status orang Arab di Madura. Juga, bukan berarti orang Madura ingin bergabung kedalam komunitas Arab, namun mereka hanya ingin mengikatkan diri secara psikologis dengan tanah arab yakni Mekkah, dan bukan dengan identitas Arab secara biologis.

Pengikatan itu dikaitkan dengan konsep Mekkah sebagai "Ummul Qura" (ibu negeri-negeri). Haji seakan menunjukkan adanya persentuhan dengan ibu yang sebenarnya, sehingga boleh menyebut dirinya memiliki hubungan imajiner dengan ibu negeri, yaitu Mekkah. Salah satu cara mengikatkan diri dengan konsep ibu negeri ini tak lain dengan menyebut diri sebagai towan.

Dengan istilah towan, para haji Madura mengikatkan diri pada dua tanah sekaligus yaitu tanah kelahirannya, Madura, dan tanah kiblat agamanya, Mekkah. Hal ini mirip para towan yang bercampur dalam dirinya antara darah Arab dan Madura sekaligus.

Dalam satu dua kasus, memang ada kemiripan antara Madura dan Arab. Contohnya dalam perayaan Idul Adha. Di daerah-daerah lain di Indonesia, Idul Adha tak dirayakan semeriah di Madura. Orang Madura biasa menyebut Idul Adha dengan Tellasan Rajha (hari raya besar).

Penyebutan ini mirip dengan istilah Ied Al Kabir di Timur Tengah. Perayaan Idul Adha di Arab memang lebih meriah daripada perayaan Idul Fitri, karena berdekatan dengan penyelenggaraan ibadah haji sebagai prosesi akbar setiap Muslim. Di Madura pun begitu. Idul Adha dirayakan lebih meriah daripada Idul Fitri (Tellasan Agung).

Karena itu, ketika "toron ajji", maka para towan disambut bak orang penting. Prosesi ini disebut "ngamba ajjiyan" (menunggu haji). Prosesi ini adalah kelanjutan dari "ngater ajjiyan" (mengantar haji) yang dilakukan sebelumnya.

Dalam dua prosesi tradisional itu, orang-orang Madura terutama dari desa berbondong-bondong untuk mengiringi pergi dan kembalinya para haji. Setiap haji disambut ratusan penjemput dalam konvoi meriah lengkap dengan nyanyian shalawat plus tetabuhan hadrah di atas mobil terbuka.

Menjelang keberangkatan, para tamu semakin membeludak. Ibarat orang mau perang, sebelum meninggalkan rumah, para calon haji di-azan-i. Suasana ketika itu senyap. Hanya isak tangis keluarga, tetangga, dan sanak famili. Semua hanyut dalam kesenyapan sembari mendoakan agar si calon haji pulang dengan "kemenangan" (kemabruran).

Ketika sampai kediaman masing-masing, para haji didoakan hingga mereka datang, lalu kedatangannya pun disambut dengan prosesi selamatan yang kalau di desa bisa sampai 40 hari. Selama 40 hari itu, para kerabat dan tetangga datang untuk asajarah (berkunjung) terhadap para haji.

Dalam prosesi asajarah, para haji mendapat simbol baru sebagai "oreng sokkla" (orang suci), sehingga pasti dimintai doa oleh para tamu. Asajarah mutlak dilakukan para kerabat tetangga sebagai pencerminan nilai "asepat sama bashar" (bersifat maha melihat dan maha mendengar).

Dalam nilai itu, seorang Madura harus selalu mendayagunakan panca inderanya untuk peka terhadap lingkungan, kalau tidak mau dibilang "ejhin" (individualis).

Biasanya terjadi pertukaran komoditas, karena para tamu membawa bahan-bahan pokok untuk disumbangkan dalam selamatan. Ketika pulang, merekapun membawa oleh-oleh dari para haji.

Jadi, para haji tidak hanya mengabdi pada performanya sendiri, tapi juga memperkuat solidaritas sosial melalui pengabdiannya pada lingkungan kultur. Ya, haji di Madura itu merupakan prosesi "bersatunya" ritual dan kultur.

Oleh Edy M Ya'kub
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016