Jakarta (ANTARA News) - Datanglah ke Bandung. Dari sudut mana pun kota ini, situs-situs kuliner tak akan sulit ditemukan. Jajanan apa pun tergelar di mana-mana, dari batagor sampai brownies, dari steak sampai tahu.

Dan omong-omong soal tahu, jika Anda penggemar tahu dan ingin menyempurnakan predikat Anda itu, singgahilah sebuah bangunan di Jalan Sudirman 227 di mana tahu-tahu warna kuning dan putih membangkitkan selera, dibuat.  Namanya, Tahu Talaga.

Tahu ini dikenal higienis, selain tentu saja nikmat dan niscaya langsung berjodoh dengan selera Anda.

Tak sulit menemukan alamat pabrik tahu ini karena memang ada di salah satu jalan protokol di Bandung, meneruskan jalan paling monumental di Bandung, Jalan Asia Afrika, dan tak jauh dari sudut paling eksotis di Bandung, Jalan Braga.

"Kami mungkin satu-satunya pabrik yang diizinkan berdiri di dalam kota," kata A. Hendra Gunawan, pemilik Tahu Talaga kepada ANTARA News sepekan lalu.

Hendra adalah generasi ketiga dari pemilik bisnis tahu yang sudah menjadi salah satu bab menarik dari kisah-kisah sukses nan inspiratif di kota Bandung.

Didirikan pada 1938 oleh Liu Phak Phine, tahu ini awalnya dinamai "Yun Sen" yang artinya 'seterusnya maju'.

Liu Phak Phine yang adalah kakek dari Hendra itu menyulap jerih payah selama 15 tahun bekerja pada perusahaan pertambangan kolonial Belanda, menjadi rumah dan sekaligus pabrik tahu yang awalnya dia kelola bersama sang istri, Mak Ilot, perempuan sunda dari Talaga di Cikijing, Majalengka.

Mereka berdua kompak merintis bisnis ini sampai kemudian membentuk salah satu dinasti bisnis tahu terkemuka di Bandung.

Talaga akhirnya menggantikan nama "Yun Sen". Lalu, pada 2000, estafet bisnis diteruskan kepada Hendra.

Pria berbadan tegap berusia 48 tahun lulusan Teknik Mesin, California State University, Long Beach, Amerika Serikat ini, kemudian memodernisasi manajemen produksi dan pemasaran Tahu Talaga. Standard produksi dan kualitas produk pun ditetapkan.

Bersama adiknya, Fifi Yuliana, Hendra juga tak henti berinovasi menciptakan hal-hal baru yang dengan cantik mereka tautkan dengan kesadaran berkonsumsi sehat masyarakat. Dua dari inovasi mereka adalah tahu organik dan situs jajanan sehat cukup terkenal di Bandung, Warung Talaga.

Jangan pernah bohongi pelanggan

Inovasi-inovasi Tahu Talaga umumnya diterima hangat para pelanggannya yang hampir seluruhnya adalah para pembeli dan pengonsumsi fanatik Tahu Talaga.

"Di sini tahunya segar terus, enggak mau ke lain hati," kata Andri Leman, pria berusia sekitar 28 tahun yang bertempat tinggal di Jalan Kejaksaan, Bandung. "Sejak zaman kakek saya, keluarga saya selalu membeli tahu ini."

Pengakuan serupa disampaikan ibu dua anak bernama Fransiska yang kerap menyempatkan diri menyinggahi pabrik Tahu Talaga demi membeli sekantong, dua kantong, tahu favoritnya. "Saya suka tahu kuningnya," kata dia.

Lorong sempit di antara dua bangunan besar di Jalan Sudirman itu memang tak pernah sepi dari pengunjung. Mobil-mobil para penyuka fanatik tahu ini juga bergantian parkir di depan gang sempit itu.

Hendra beruntung dianugerahi loyalitas mereka. "80 persen pelanggan kami adalah penggemar fanatik Tahu Talaga," klaim Hendra.

Sebenarnya tak tepat menyebut ini keberuntungan, karena loyalitas pelanggan ini adalah buah manis dari bagaimana keluarga Tahu Talaga memelihara kepercayaan pelanggan dengan menjaga kualitas tahunya.

Sejak zaman kakeknya, sampai sekarang, Hendra tak pernah mau mengompromikan kualitas tahunya hanya demi untung besar belaka.

Pun, mereka tak tertarik mengubah bisnisnya menjadi lebih massal karena khawatir tak bisa lagi menjaga kualitas dan keeksklusifan. Mereka sungguh mengharamkan diri mereka mempermainkan kepercayaan pelanggan, tak peduli pesaing-pesaing mereka jor-joran berekspansi.

"Kalau konsumen sudah percaya, jangan sekali-kali membohongi mereka karena begitu mereka dibohongi, mereka tak akan kembali lagi, dan Anda akan sulit mendapatkan lagi kepercayaan mereka," kata Hendra.

Suami dari Magdalana Tri Sunaryanti dan ayah dari dua anak ini menyebut kepercayaan konsumen sebagai modal terbesar bisnisnya.

Bahkan, demi kualitas produk dan loyalitas pelanggan itu Tahu Talaga tak segan membayar mahal untuk mendapatkan bahan baku-bahan baku terpilih yang dipastikan bisa menjaga kualitas dan kehigienisan tahu mereka, kendati akhirnya membuat Tahu Talaga terlihat lebih mahal.

Uniknya harga yang tinggi itu menjadi tak ada artinya ketika bersanding dengan kualitas yang tinggi. Alhasil, tetap saja dibeli konsumen.

Tak ingin tak spesial lagi

Fakta lain yang mengejutkan adalah kesadaran pemilik Tahu Talaga bahwa bahan-bahan bermutu tinggi tak selalu harus diimpor. Mereka percaya negerinya, Indonesia, menyediakan bahan-bahan berkualitas tinggi. Tak heran mereka menyukai bahan dan produk lokal, tepatnya bahan lokal terbaik.

Mereka senang bermitra dengan lokalitas, salah satunya dengan menggandeng para petani Jawa Timur yang dipilihnya karena bisa diandalkan dalam turut menjaga mutu tinggi tahu mereka.

"Kami berani memberi harga mahal kepada petani demi kualitas produk kami," kata Hendra.

Uniknya, kendati harga tinggi untuk petani membuat produk-produk Tahu Talaga menjadi terlihat lebih mahal, para pelanggan antusiastis menyambut inovasi-inovasi baru Tahu Talaga, antara lain tahu organik dan berbagai menu terkini kuliner tahu.

Lebih unik lagi, walau memiliki pelanggan fanatik dan kemampuan bertarung menghasilkan inovasi-inovasi baru seperti itu pun Hendra tak ingin cepat tergoda melebarkan sayap bisnis secara instan untuk hadir di mana-mana.

"Kami konservatif saja. Kami ingin terus berkembang seperti yang lain, tetapi kami tak mau melakukan itu dengan cara mengekor orang lain, kami ingin lain dari yang lain," kata Hendra, diiringi tawa lepas, tawa memesankan optimisme dan kepercayaan diri besar bahwa dia mampu menciptakan hal-hal baru.

Menurut Hendra, Tahu Talaga menginginkan perkembangan usaha dalam bingkai bisnis yang hati-hati dan enggan semata tunduk kepada dinamika masa.

"Ada pelajaran ekonomi yang enggak bisa dipelajari di sekolah, yakni kalau ada di mana-mana, kami tidak lagi dianggap spesial," kata Hendra.

Dalam banyak hal, tahu ini memang spesial, antara lain karena selalu terjaga tetap segar.

Dengan bahan dasar kedelai 3-4 kuintal per hari untuk menghasilkan ribuan potong tahu, ditambah kunyit yang sudah menjadi simbol kedekatan Tahu Talaga dengan alam dan upayanya menjaga jarak dari bahan dasar kimiawi buatan, Tahu Talaga dirancang untuk dijual dalam keadaan segar dan higienis.

"Kami hanya membuat tahu pagi untuk dihabiskan siang, lalu bikin siang untuk sore. Tak ada yang ditaruh berjam-jam. Kami selalu fresh (segar)," kata Hendra.

Kespesialan ini, ditambah kesetiaan kepada kualitas, menjaga betul kepercayaan pelanggan, dan tak henti berinovasi, telah membuat Tahu Talaga kerap menjadi bahan ajar dan inspirasi banyak kalangan, dari sekolah dan kampus-kampus, sampai pemerintah daerah.

Tahu Talaga juga menjadi salah satu acuan untuk sebuah industri yang sukses dan memuja kualitas, bahkan menjadi situs wisata.

Tahu Talaga memang bukan sekadar tahu yang spesial.



Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016