Jakarta (ANTARA News) - "...the necessity of a navy, in the restricted sense of the word, springs, therefore, from the existence of a peaceful shipping...." (A.T. Mahan)

Setelah dua kubu berseteru terkait dengan keabsahan mereka masing-masing pasca-Rapat Umum Anggota (RUA) Ke-16 Indonesia National Shipowners Association (INSA) di Ancol Jakarta hampir setahun yang lalu, kini angin kencang yang menerpa organisasi itu perlahan mulai mereda.

Lazimnya keadaan seusai badai, kursi, meja, lemari, dan lainnya berantakan. Orang-orang pun belum sepenuhnya sadar akibat kepala berbenturan dengan benda keras yang berterbangan ketika angin kencang mengamuk.

Adalah Kementerian Hukum dan HAM yang "memawangi" angin kencang itu agar berhenti bergolak dengan mengeluarkan pengesahan atas pendirian Perkumpulan Indonesia National Shipowners Association, lebih dikenal dengan panggilan INSA.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan Johnson W. Sutjipto dan mengukuhkannya sebagai ketua umum dalam sengketa kepemimpinan organisasi itu.

Media mengabarkan JWS, begitu dia kerap disapa oleh teman-temannya, berhasil memperoleh 386 dukungan dari 754 delegasi peserta dalam perhelatan RUA Ke-16. Sementara itu, Carmelita Hartoto, sang petahana, mendulang 363 suara. Kita semua tahu bagaimana ceritanya seketika pesta demokrasi pemilik dan operator kapal nasional tersebut bubar.

Menariknya, selain mengesahkan kepengurusan JWS, Kemenkum dan HAM juga mengesahkan kepengurusan Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia (P3N2I) yang dinakhodai oleh Carmelita. Hal ini berarti pelaku bisnis pelayaran nasional memiliki dua organisasi yang bisa mereka pilih untuk memperjuangkan aspirasinya di tingkat nasional maupun internasional.

Pilihan lain, mereka bisa tidak memilih keduanya. Inilah indahnya demokrasi. Inilah yang penulis maksud dengan lembaran baru bisnis pelayaran nasional.

Kepengurusan kembar yang ada--walaupun atribusi ini tidak sepenuhnya tepat karena secara de jure baik INSA maupun P3N2I memiliki legalitas masing-masing yang sama kuatnya--menimbulkan pertanyaan di kalangan pemangku kepentingan pelayaran: kok pecah sih? Bukankah lembaga tunggal jauh lebih baik? Sederetan pertanyaan senada lainnya dapat diajukan ke permukaan.


Dua (Juga) Baik

Desakan agar pengusaha pelayaran bersatu kembali dalam satu wadah tunggal disuarakan mulai dari menteri hingga media. Dalam kesempatan pertama bertemu media di Kementerian Perhubungan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengimbau kubu Johnson dan Carmelita rujuk. Sikap Menhub ini sedikit berbeda dari pendahulunya yang terlihat lebih "mesra" dengan kubu Meme--panggilan akrab Carmelita--dibanding dengan kubu JWS.

Sebuah media "online" khusus transportasi tak ketinggalan dalam menyuarakan unifikasi antara JWS dan Meme. Ditulis dalam bentuk "opinioned news" oleh wartawan seniornya, media ini membeberkan betapa kepengurusan kembar INSA akan berdampak negatif terhadap pencapaian visi maritim nasional, yakni menjadi poros maritim dunia. Teman penulis yang mantan wartawan transportasi sebuah surat kabar bisnis ternama juga menulis status pada dinding FB-nya agar kedua organisasi pemilik kapal itu bersatu kembali.

Sepertinya, bersatu, persatuan atau rujuk adalah jalan terbaik bagi organisasi shipowner nasional. Apakah memang harus seperti itu? Tidak adakah Opsi lain? Misalnya, tidak bolehkan pengusaha pelayaran memiliki wadah berhimpun lebih dari satu? Apa salahnya dua organisasi?

Organisasi kembar bukan fenomena baru di Indonesia dan bisnis pelayaran bukan satu-satunya sektor bisnis yang wadah organisasinya terpecah dua. Gejala ini sepertinya sudah menjadi bagian yang hampir tak terpisahkan dari kehidupan sosial kemasyarakatan usai gelombang reformasi melanda Tanah Air pada pengujung 1990-an.

Profesi pengacara terpecah lebih dari dua wadah organisasinya; insan pers menyaksikan menjamurnya perhimpunan wartawan. Lalu, perkumpulan para petani dan nelayan, HKTI, dan tempat kongkonya para pengusaha, KADIN, tidak luput pula dari "deviding force" yang tengah berputar-putar ini.

Semula, "stakeholder" (pemangku kepentingan) organisasi-organisasi tadi menyayangkan pecahnya wadah berhimpun yang lama yang dibangun dengan idealisme mulia oleh para "founding fathers" masing-masing. Mereka mengkritik sambil sesekali melakukan kecaman tajam terhadap aktivis organisasi lama yang mendirikan organisasi baru atau organisasi tandingan. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kata-kata pedas itu akhirnya senyap, baik karena yang menyuarakannya kehabisan energi maupun organisasi lama dan baru menemukan titik ekuilibriumnya.

Titik ekuilibrium itu biasanya tercapai karena organisasi lama dan baru mampu memberi manfaat kepada anggotanya dan anggota tidak lagi memikirkan perseteruan yang (pernah) ada di antara kedua organisasi. Bukankah untuk tujuan ini organisasi dibentuk?

Hal itu berarti, JWS dan Meme silakan menjalankan roda organisasi yang mereka pimpin dan berlomba-lomba memajukan bisnis pelayaran nasional. Dengan jumlah anggota yang lebih dari 1.700 perusahaan pelayaran saat ini (sebelumnya jumlah pelayaran nasional lebih dari 3.000 perusahaan, lalu divalidasi oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menjadi angka eksisting), masing-masing organisasi memiliki "konsumen" yang lumayan untuk dilayani. Jika dibagi dua, setiap organisasi insan pelayaran punya sekitar 850 anggota; jumlah yang cukup banyak untuk membuat pengurusnya sibuk.

Anggota sebanyak itu tentulah memiliki preferensi sendiri-sendiri terkait dengan pimpinan organisasi tempat mereka bernaung yang harus dihormati. Rasanya tidak bijak bila mereka yang cenderung pada kubu JWS, misalnya, diminta berhubungan dalam aspek organisatoris kepada kubu Meme. Begitu pula, sebaliknya. Preferensi ini hadir inheren dalam setiap organisasi dan unsur inilah yang membuat seorang pimpinan disukai atau tidak. Seorang kandidat dipilih atau tidak dalam perhelatan pemilihan ketua umum.

Jadi, tidak perlulah salah satu kubu menyerang pihak lain. Relakanlah keterpisahan yang sudah terjadi. Tidak selalu wadah tunggal itu baik, apalagi bila situasi kebatinannya tidak sehat. Dua (dualisme) adalah esensi alam semesta. Tuhan menciptakan siang dan malam atau lelaki dan perempuan. Dalam filsafat Tiongkok dikenal Yin dan Yang yang keseimbangan antara keduanya menjadikan hidup bahagia. Singkat cerita, dua organisasi baik, bahkan bisa jadi jauh lebih baik daripada wadah tunggal.

Barangkali dengan memiliki dua wadah pelaku bisnis pelayaran bisa lebih maksimal upayanya dalam mewujudkan pelayaran nasional yang efisien. Pelayaran yang efisien menjadi modal utama bagi bidang lainnya untuk berkembang, salah satunya angkatan laut nasional, sebagaimana diucapkan oleh A.T. Mahan di atas.

Pelayaran adalah etalase bagi sebuah bangsa yang mengaku dirinya sebagai bangsa bahari. Tidak akan banyak artinya seluruh potensi kemaritiman/kelautan suatu negeri manakala dia tidak memiliki pelayaran yang baik. Selamat bekerja INSA dan P3N2I.

*) Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

(T.A015/B/D007)

Oleh Siswanto Rusdi*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016