Jakarta (ANTARA News) - Gegap gempita perayaan kemerdekaan Indonesia ke-71 masih menyisakan masalah, khususnya terkait kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan kesenjangan sosial yang hingga saat ini belum dapat diselesaikan dengan baik mulai dari Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo.

Meski nyatanya, tiga persoalan "laten" itu adalah masalah bersama yang patut diemban, salah satunya oleh pihak kampus sebagai pemegang amanat "Tri Dharma Perguruan Tinggi".

Dalam ungkapan lain, kampus bertanggung jawab atas tiga "dharma" (kebaikan), yaitu pendidikan-pengajaran, penelitian-pengembangan, dan pengabdian masyarakat.

Artinya, seluruh sivitas akademika, mulai dari pengajar hingga mahasiswa punya kewajiban ikut terlibat memikirkan dan menyelesaikan persoalan bangsa.

Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraannya pada sidang bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah pada 16 Agustus 2016 ini mengatakan, sudah 71 tahun Indonesia merdeka, pemerintah belum mampu memutus rantai kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan kesenjangan sosial.

Namun ia mengakui, para pendahulunya sudah berupaya keras menyelesaikan persoalan itu, tetapi situasinya saat ini dinilai tak sama.

"Perbedaannya, kita menghadapi tatanan dunia baru atau era kompetisi global yang tak lagi melibatkan antardaerah, melainkan antarnegara, bahkan antarkawasan. Sebuah era semua negara saling terhubung hingga masalah satu negara dapat menjadi problem bagi negara lain," kata Jokowi.

Alhasil, perlambatan perekonomian Indonesia dinilai turut dipengaruhi kondisi keuangan dunia. Hal demikian diyakini ikut menghambat upaya penyelesaian tiga persoalan tersebut.

Badan Pusat Statistik dalam lamannya menunjukkan, angka kemiskinan pada September 2015 mencapai 28,5 juta jiwa, terdiri atas warga desa 17,9 juta dan penduduk kota 10,6 juta.

Sementara itu, Indeks Kedalaman Kemiskinan pada Maret 2016 mencapai 1,94, meningkat dari September 2015 1,84. Begitu juga, Indeks Keparahan Kemiskinan ikut naik tipis pada Maret 2016 senilai 0,52 dibanding September 2015 sebesar 0,51.

Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis yang ditetapkan, sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan memberi gambaran penyebaran pengeluaran penduduk miskin.

Besarnya nilai indeks menunjukkan ketimpangan yang makin tinggi antarpenduduk miskin.

Dengan begitu, Presiden mengusulkan tiga langkah terobosan. Ia menyebutkan secara implisit peran kampus dalam solusi tersebut, utamanya terkait program penelitian.

"Di tahun percepatan pembangunan, pemerintah fokus pada tiga langkah terobosan untuk mengentaskan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan kesenjangan sosial. Langkah yang dimaksud adalah percepatan pembangunan infrastruktur, penyiapan kapasitas produktif dan sumber daya manusia, terakhir, deregulasi dan debirokrasi," kata presiden.

Dalam konteks itu, peran kampus ada pada langkah kedua, yakni peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia. Hal itu diyakini dapat dicapai dengan peningkatan program penelitian.

"Pemerintah terus mendorong terwujudnya hilirisasi penelitian dengan memperkuat sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia industri. Begitu juga sejumlah sentra teknologi dibangun untuk mendukung industrialisasi nasional," kata Jokowi.


Realisasi

Wacana pemerintah melakukan hilirisasi penelitian melalui sinergi kampus, pemerintah dan industri menyisakan satu pertanyaan, bagaimana hal itu terealisasikan?

Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Ali Akbar menjelaskan, kampus sebenarnya sudah berperan membantu pemerintah mengatasi tiga persoalan tersebut. Tetapi dalam skala nasional tampaknya masih jauh dari harapan.

"Kampus tentunya sudah menjalankan fungsi pendidikan dan pengajaran sebanyak 100 persen. Namun, perlu disadari universitas yang aktif bergerak di bidang riset jumlahnya lebih sedikit, terlebih kampus yang bergerak di bidang pengabdian masyarakat jauh lebih kecil," kata Akbar.

Hal itu dapat dipahami, pasalnya anggaran untuk bidang riset dan pengabdian masyarakat dari anggaran pendapatan dan belanja negara dinilai terlampau sedikit.

"Anggaran riset kita bukan lagi kecil tapi sangat kecil, hanya 0,09 persen dari produk domestik bruto atau Rp15 triliun pada tahun ini," ujar Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir di Padang beberapa waktu lalu.

Indonesia dinilai cukup tertinggal dalam hal pendanaan, mengingat anggaran penelitian Singapura sekitar 0,62 persen, Malaysia satu persen, dan Korea Selatan empat persen.

Alhasil, langkah cukup realistis adalah mengadakan kerja sama lembaga riset di kampus, industri, dan pemerintah. Pasalnya, ketiga pihak itu sebenarnya punya badan penelitian dengan karakter dan kekuatan masing-masing, ujar Akbar.

"Akan tetapi seringkali ketiganya berjalan sendiri-sendiri, sehingga banyak hal luput dipertimbangkan".

Dengan begitu, sinergi antarpihak jadi kunci memaksimalkan penelitian dan program pengabdian masyarakat guna menyelesaikan problem riil di masyarakat.

"Perlu kebesaran hati untuk melepas ego sektoral dan bekerja sama saling melengkapi demi kepentingan bangsa dan negara," ujarnya menutup.


Akar masalah

Meski demikian, ungkapan "hilirisasi" penelitian dalam pidato Presiden perlu dicermati, khususnya dalam kaitannya dengan visi "Revolusi Mental" beserta misi Nawacita yang didengungkan pada masa kampanye lalu, ujar Susanto Zuhdi, Guru Besar FIB UI.

Pasalnya, tiga persoalan bangsa tersebut perlu diselesaikan hingga akar masalah dan sifatnya jangka panjang.

Program riset yang mengarah pada "produk berdaya jual" memang penting, tetapi pemerintah, akademisi, dan khususnya peneliti mesti menyadari arti penting "Revolusi Mental" adalah upaya mengubah paradigma, atau cara berpikir, tambahnya.

"Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan dan ketimpangan sosial memang dapat dituntaskan dengan penguatan sektor industri yang terhubung dengan hilirisasi penelitian. Namun perlu disadari, tiga persoalan itu juga mesti dimaknai sebagai masalah mentalitas," ujarnya saat dihubungi via telepon belum lama ini.

Artinya, arah riset harus memberi ruang untuk mendalami masalah "mentalitas" tersebut agar sejalan dengan mimpi Presiden merevolusi mental anak bangsa, ungkapnya.

"Penelitian memang penting, tetapi program pengabdian yang menyasar langsung pada masalah riil juga perlu diperhatikan. Pengabdian terhadap masyarakat tak melulu pada pembuatan produk berdaya jual, tetapi dapat juga memberi kemahiran, memberdayakan masyarakat, atau upaya penanaman nilai yang dapat digunakan misalnya, sebagai alat mencegah konflik antarwarga," kata Zuhdi.


Pengabdian

Terlepas dari hal itu, problem lain yang dimiliki kampus agaknya terletak pada kurangnya penghayatan atas makna kewajiban mengabdi untuk masyarakat. Pasalnya, banyak kampus justru memilih mengejar "status internasional" atau nilai akreditasi terbaik.

"Padahal, universitas berkewajiban peduli pada masalah bangsa, bukan melulu mengejar status kampus bertaraf internasional," kata Riris K. Toha Sarumpaet, Guru Besar FIB UI, yang kini menjadi Ketua Departemen Filsafat UI.

Akan tetapi, pemikiran semacam itu hanya terwujud jika kampus sadar, dirinya berutang ke masyarakat, ujarnya.

"Kampus justru dapat berbuat banyak lantaran mereka dibekali wawasan dan kepakaran yang memadai. Kekuatan itu mestinya mengarahkan program penelitian agar menyasar masalah bangsa dan kemanusiaan. Jangan hanya berkutat pada problem kecil yang genit, tetapi tak langsung mengarah pada kebutuhan masyarakat yang mendesak".

Urgensi penelitian adalah menyelesaikan masalah di masyarakat, sehingga cukup aneh jika ada universitas yang tak menjalankan kewajiban tersebut, ungkapnya.

Ia menambahkan, kampus perlu memastikan program penelitian dan pengabdian dijalankan dengan benar dan berkelanjutan.

"Universitas perlu menjamin bahwa temuan penelitian dan program pengabdiannya dapat digunakan pemerintah serta masyarakat, misalnya saja membantu proses pembuatan kebijakan," kata Riris yang baru saja selesai menunaikan tugasnya sebagai Ketua Dewan Guru Besar Fakultas. **

(KR-GNT/A011)

Oleh Genta Tenri Mawangi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016