Berkat panas dan angin saat ini produksi garam kita dalam setiap bulan bisa panen empat kali dengan per hektarenya bisa mencapai 15 ton per minggu. Ini adalah panas dan angin yang membawa berkah bagi kami orang Sabu Raijua."
Kupang (ANTARA News) - Sang surya baru saja meninggalkan peraduannya. Sisa-sisa sinarnya meninggalkan remang-remang keemasan di sekitaran tambak garam Kampung Lobo Bali, di pantai Bali, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur.

Sejumlah pekerja tambak garam seluas 170-an hektare, baik pria dan wanita, masih terlihat mengumpulkan kristal-kristal garam yang masih berada di dalam tambak garam tersebut.

Sementara itu, sebagian pekerja lainya sudah mulai bersiap-siap untuk kembali ke rumahnya masing-masing karena matahari pun perlahan-lahan kembali ke peraduaannya.

Dari kejauhan, suara para pekerja tambak tidak terdengar karena tenggelam oleh suara ombak yang memecah sepenjang garis pantai Bali yang indah.

Sejauh mata memandang, hamparan pasir yang putih, air laut yang jernih dan keemasan langit akibat sisa-sisa pancaran sang surya menambah kecantikan pantai Bali yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Paulus Imihalen (50) tampak telah selesai memanen kurang lebih 15 ton garam di satu hektare tambak tersebut. Dirinya terlihat lelah pada hari itu.

Namun baginya lelahnya bisa terbayar setelah pada akhir bulan dirinya bersama teman-temannya bisa mendapatkan gaji sebesar Rp1,2 juta sesuai dengan upah minimun regional (UMR) dari provinsi Nusa Tenggara Timur.

"Mau lelah seperti apapun pasti akan terbayarkan dengan gaji sebesar Rp1,2 juta per bulan," kata Paulus.

Paulus mengaku hidupnya benar-benar berubah setelah adanya tambak garam tersebut karena dapat memberikan mereka pemasukan bagi dirinya dan sejumlah pekerja di tambak garam itu, setiap bulannya dengan pasti.

Tambak garam yang dikelola Paulus dan sejumlah pekerja lainnya merupakan sebuah tambak garam milik Pemerintah Daerah Sabu Raijua yang dikelolah tanpa campur tangan dari para pengusaha lainnya.

"Kami senang, karena ada sumber pendapatan baru bagi kami para pekerja tambak garam di desa ini," ujar pria berusia 50 tahun itu.

Sejumlah warga di kampung Bali tersebut pada awalnya nyaris tidak mempunyai pendapatan terutama pada pada musim kemarau di saat semua hasil tanam dan lahan yang digarap untuk pertanian kering akibat krisis air.

Bila kemarau tiba satu-satunya sumber pendapatan warga di desa itu dan sejumlah warga di desa lain di pulau Sabu itu hanya bergantung pada penjualan gula merah cair hasil sadapan dari pohon lontar.

Warga di daerah itu pun baru memulai mengolah lahan untuk ditanami padi dan jagung pada saat musim penghujan pun tiba.

Perlahan-lahan kesulitan warga di Kampung Bali tersebut mulai teratasi, setelah Pemerintah Daerah Sabu Raijua mulai berinisiatif untuk memanfaatkan lahan pesisir pantai Bali untuk dikembangkan menjadi tambak garam.

Teknologi yang digunakan oleh Pemerintah Daerah Sabu Raijua untuk mengolah tambak garam tersebut adalah dengan cara "Geomembran High Density Polythylene" (HDPE).

HDPE sendiri merupakan cara yang digunakan untuk menghasilkan garam berupa sebuah lembaran yang dihamparkan pada lahan garam yang tahan air, korosi, minyak, asam dan panas tinggi.

Hingga saat ini sudah ada tiga lokasi dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Sabu. Ketiga daerah pengembangan garam itu sendiri adalah di Desa Bali, Kecamatan Sabu Timur, Desa Tulaika (Sabu Barat) dan Desa Lobo Hede (Hawu Mehara).


Membawa Berkah

Cuaca panas dan angin kencang di pulau yang berhadapan dengan laut lepas, Samudera Hindia itu tidak menjadi bencana bagi Pemda dan masyarakat di Sabu Raijua.

Bupati Sabu Raijua Marthen Luther Dira Tome justru berpendapat panas dan angin di daerah itu patut disyukuri, bukan untuk ditakuti dan menyerah dengan keadaan.

"Berkat panas dan angin saat ini produksi garam kita dalam setiap bulan bisa panen empat kali dengan per hektarenya bisa mencapai 15 ton per minggu. Ini adalah panas dan angin yang membawa berkah bagi kami orang Sabu Raijua," tutur Marthen.

Hingga saat ini setiap kali panen ada sekitar 15 ton yang dipanen sehingga dalam sebulan tambak garam tersebut bisa menghasilkan kurang lebih 10 ribuan ton.

Garam yang ada di Sabu juga saat ini telah dipasarkan ke sejumlah daerah di Indonesia mengingat garam milik Sabu sendiri telah mengantongi sertifikat SNI sejak 2015 lalu.

Sejumlah daerah yang telah menjadi pelanggan tetap bagi Pemda Sabu sendiri saat ini ada tiga yakni dari Makasar (Sulawesi), Pontianak (Kalimantan Barat) dan Surabaya (Jawa Timur).

Setiap bulan para pelanggan yang membeli garam di Sabu justru hanya bisa membawa kurang lebih 1.600 ton garam ke daerahnya masing-masing.

"Kita berharap agar kapal-kapal yang datang bisa membawa dengan jumlah yang lebih dari 2 ribuan ton tetapi kendala saat ini adalah kondisi dermaga kita yang masih sangat terbatas, dan kalau ada kapal yang membuat bawaan lebih banyak pasti akan kandas," ujarnya.

Melihat potensi garam di daerahnya bagus, pria yang telah menjabat sebaagi bupati selama dua periode tersebut bercita-cita untuk terus mengembangkan garam di sepanjang pesisir pantai Sabu Raijua.

Dengan luas lahan yang hingga saat ini ada kurang lebih mencapai 170-an hektare, ia pun bertekad mengembangkannya menjadi 400 hektare dengan harapan bisa mempekerjakan kurang lebih 4.000 orang di daerah Sabu, sehingga bisa mengurangi angka pengangguran di Sabu Raijua.

Hingga saat ini, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, tingkat pengangguran di Sabu Raijua sudah berkurang menjadi 3.000 orang dari 17.000 sejak pembentukan kabupaten pada pada 36 November 2008, berdasarkan undang-undang Nomor 52 tahun 2008.


Pemasok Garam

Nusa Tenggara Timur memiliki potensi "surga" garam karena didukung oleh kemarau yang berlangsung selama delapan bulan, sementara kecepatan anginnya di tempat terbuka seperti di pesisir pantai bisa mencapai 40 kilometer per jam.

Bahkan luas laut yang ada di NTT justru bisa dikembangkan untuk potensi tambak garam seperti yang dilakukan oleh Pemda Sabu Raijua.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya dalam setiap pidatonya dalam setiap kegiatan selalu menyampaikan dan mengingatkan agar baik para nelayan serta petani bisa mengembangkan laut yang luas untuk tambak garam.

"Panas berlebihan di bukan sebagai kutukan melainkan potensi yang yang harus dikembangkan untuk potensi garam," tuturnya.

Hingga saat ini sudah dua daerah yang sudah mengembangkan tambak garam, baik di Sabu Raijua serta di Kabupaten Kupang seluas 4.000 hektare yang dikelola oleh PT. Garam Indonesia.

Bahkan menurut Gubernur Frans, saat ini sejumlah daerah seperti, Nagekeo, Ende, Manggarai serta Sumba juga memiliki potensi untuk pengembangan garam.

"Saya Rasa NTT bisa menjadi provinsi pemasok garam terbesar jika kita mau bekerja keras," harapnya.

Oleh kornelis kaha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016