Semarang (ANTARA News) - Kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Tengah meminta kasus penahanan 177 jemaah calon haji, dimana 19 orang di antaranya asal Jateng, harus ditangani  dengan tuntas oleh pihak berwenang.

"Penahanan terhadap calon haji berpaspor palsu harus ditangani dengan tuntas dan kelompok bimbingan ibadah haji sebagai penyalur harus dikenakan sanksi pidana jika terbukti bersalah karena melanggar hukum," kata Sekretaris Komisi A DPRD Jawa Tengah Ali Mansyur di Semarang, Rabu.

Menurut dia, para calon haji yang ditahan di Filipina tersebut merupakan korban karena yang bersangkutan sebelumnya mendaftar secara reguler dan memenuhi administrasi kepada kelompok bimbingan ibadah haji.

"Mereka dimanfaatkan oleh lembaga yang tidak bertanggung jawab, kalau perlu tujuh biro travel itu harus dicabut izinnya, harus pada ranah hukum dipidanakan karena melakukan penipuan," ujarnya.

Politikus Partai Nasdem itu mengungkapkan bahwa saat dirinya menjadi anggota tim pembimbing haji daerah Jateng 2015, praktik ilegal tersebut sudah terjadi.

"Di tengah kerumunan jemaah haji di Makkah, saya menemukan warga Indonesia asal Sulawesi yang mengenakan bendera negara Filipina," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, pembongkaran praktik tersebut harus dilakukan dengan menyeluruh karena ditengarai sudah lama terjadi.

Sebelumnya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Jawa Tengah mencatat 19 dari 177 calon haji asal Indonesia yang ditahan di Filipina yang menggunakan paspor palsu untuk berangkat ke Tanah Suci, berasal dari Jawa Tengah.

"Sudah dicek, ada 19 orang yang paspornya berasal dari Jawa Tengah," kata Kepala Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Jawa Tengah Bambang Sumardiono.

Paspor 19 warga tersebut diterbitkan dari kantor Imigrasi Semarang dan Pati.

Bambang sendiri tidak mengetahui dari mana keberangkatan ke-19 orang tersebut saat menuju Filipina.

Sebanyak 177 WNI diamankan di Filipina karena menggunakan paspor palsu untuk berangkat haji melalui negara tersebut.

Paspor palsu yang dipegang para WNI tersebut diperoleh dari sekelompok warga Filipina yang bekerja pada jasa layanan pemberangkatan ibadah haji di Filipina.

Dengan membayar 6.000 hingga 10.000 dolar Amerika Serikat, mereka dapat berangkat haji dengan menggunakan kuota cadangan yang diberikan pemerintah Arab Saudi kepada jemaah haji Filipina.

Ternyata, para anggota jemaah WNI itu diturunkan dari pesawat karena tidak bisa berbicara dalam bahasa Tagalog Filipina.

Pewarta: Wisnu Adhi N
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016