Medan (ANTARA News) - Bank Indonesia mengakui penggunaan dolar AS masih tetap mendominasi sehingga dinilai perlu dorongan untuk peningkatan mata uang asing lainnya.

"Pasar valas (valuta asing) yang masih dangkal yang tercermin dari dominasi dolar AS pada transaksi serta terbatasnya instrumen derivatif di pasar keuangan itu harus diatasi," ujar Kepala Divisi Advisory BI Perwakilan Sumut Budi Trisnanto di Medan, Kamis.

Menurut dia, dominannya dolar AS di pasar valas domestik tersebut menyebabkan transaksi perdagangan semakin tergantung pada dolar AS.

Dominasi dolar AS di pasar Indonesia justru berbanding terbalik dengan kondisi hubungan dagang antara Indonesia dengan AS.

Hingga dewasa ini, ekspor Indonesia lebih banyak ke Eropa dan Jepang masing-masing sebesar 11 persen. Sedangkan ke AS dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) masih 10 persen.

Adapun impor juga didominasi RRT 20 persen, Singapura 15 persen dan Eropa 10 persen.

"Ironisnya, mata uang yang paling dominan dipakai dalam transaksi ekspor justru dolar AS yakni 94 persen, sedangkan sisanya berupa mata uang Euro, Yen, Yuan, dan dolar Singapura," katanya.

Bahkan sementara dalam transaksi impor, dolar AS juga masih mendominasi sekitar 58 persen, disusul Euro 4,4 persen, Rupiah 2,9 persen, dan yen 2,8 persen.

"Ketergantungan terhadap dolar AS itu juga dipicu kebiasaan para pengusaha, baik eksportir mau pun importir yang menggunakan dolar AS dalam setiap transaksi sebagai akibat dari terbatasnya pemahaman mengenai penggunaan mata uang lain dalam transaksi internasional," katanya.

Ketergantungan dengan dolar AS membuat nilai tukar Rupiah menjadi kurang "perkasa" saat berhadapan dengan dolar AS.

"Untuk itu BI terus berupaya membuat kebijakan dan pengaturan pasar valas domestik yang mendukung sektor riil dan membatasi spekulasi untuk mencapai stabilitas nilai tukar," katanya.

BI juga mendorong transaksi lindung nilai untuk mengurangi dominasi transaksi spot yang bersifat tergesa-gesa.

Pewarta: Evalisa Siregar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016