Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Herry Gunawan menilai wacana kenaikan harga rokok adalah isu kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan karena dapat membuat gaduh masyarakat Indonesia.

"Isu kenaikan harga rokok bermula dari hasil survei kecil-kecilan yang dibiayai asing dan untuk kepentingan asing,
kemudian di-blow-up oleh beberapa orang di media sosial," kata Herry pada diskusi "Dialektika: Rokok, Pajak, dan Petani Tembakau" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.

Menurut Herry, setelah hasil survei itu di blow up di media sosial, kemudian menjadi ramai dan menimbulkan kegaduhan baru.

Karena Pemerintah memberikan tanggapan serius sehingga masyarakat menduga harga rokok akan segera naik sehingga menimbulkan kegaduhan.

"Padahal, isu ini hanya wacana dan belum ada kenaikan harga rokok," katanya.

Di sisi lain, Herry juga menduga, isu kenaikan harga rokok ini memang disengaja untuk melihat respons publik menyusul diberlakukannya UU Amnesti Pajak yang kurang mendapat respon dari para pengusaha dan pemilik dana.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Mukhammad Misbakhun menambahkan, harga rokok jika dinaikkan akan memiliki dampak negatif yang sangat luas, tidak hanya pada industri rokok tapi juga pada petani tembakau.

"Jika harga rokok dibaikkan, bagi para perokok akan mengurangi konsumsi rokok, misalnya semula satu bungkus per hari, menjadi setengah bungkus atau satu batang per hari," katanya.

Namun, bagi industri rokok resikonya dapat mengurangi produksi dan selanjutnya terjadi pemutuhan hubungan kerja (PHK) karyawannya, juga terjadi pada industri rokok berskala kecil atau industri rumahan.

Pada kesempatan tersebut, Misbakhun juga mengecam pengusul kenaikan harga rokoh menjadi sekitar Rp50.000 per bungkus, yang didasarkan oleh hasil survei yang dibiayai asing dan untuk kepentingan asing.

"Dalam suatu dialog di televisi, diketahui pengusul itu menerima sejumlah uang dari asing. Ini sangat ironis, untuk kepentingan sendiri tapi akan menghancurkan industri rokok dan petani tembakau," katanya.

Sementara itu, pengamat rokok kretek, Mohammad Sobary menambahkan, hasil survei yang dibiayai asing soal kenaikan harga rokok, diduga kuat sasarannya untuk mematikan industri rokok Indonesia, terutama yang berskala kecil dan rumahan.

Menurut dia, survei itu bukan survei murni tapi memiliki kepentingan politik ekonomi yang akan merugikan Indonesia.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016