Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi V dari fraksi PDI-Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti dituntut 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Yang bersangkutan didakwa menerima suap 328 ribu dolar Singapura, Rp1 miliar dan 404 ribu dolar Singapura terkait pengurusan program aspirasi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

"Kami penuntut supaya majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat supaya memutuskan, menyatakan terdakwa Damayanti Wisnu Putranti telah terbukti secara sah dan meyakinkam menurut hukum bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagaiamama diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan pertama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 6 tahun dan pidana denda sejumlah Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," kata ketua jaksa penuntut umum KPK Iskandar Marwanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin.

Selain itu, jaksa KPK juga menuntut Damayanti untuk mendapat hukuman pidana tambahan.

"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak terdakwa usai menjalani pidana pidana pokoknya," tambah jaksa Iskandar.

Meski mendapat hukuman tambahan, jaksa menyatakan bahwa Damayanti mendapatkan status "justice collaborator" atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.

"Terdakwa mendapatkan status justice collaborator berdasarkan surat keputusan Pimpinan KPK No Kep-911/01-55/08/2016 tanggal 19 Agustus 2016 karena telah memberikan keterangan dan bukti-bukti signifikan sehingga penyidik dan penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana secara efektif dan mengungkap perkara lain dalam perkara a quo," ungkap jaksa Iskandar.

Status "justice collaborator" tersebut diajukan oleh Damayanti pada 24 Januari 2016.

"Berdasarkan surat permohonan terdakwa tanggal 24 Januari 2016, yang menyatakan bahwa terdakwa kooperatif, telah membantu untuk memberikan informasi dalam tindak pidana lain sesuai yang terdakwa ketahui, terdakwa sangat menyesali perbuatan yang dilakukan sebagai anggota DPR RI, terdakwa sudah mengembalikan semua uang fee kepada penyidik KPK. Selama proses hukum penyidikan dan penuntutan terdakwa telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap pelaku lainnya yaitu Budi Supriyanto selaku anggota DPR RI Komisi V dan Amran Hi Mustary selaku Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara," tambah anggota jaksa Tri Anggoro Mukti.

Selain itu, jaksa juga menilai bahwa Damayanti bukan orang yang punya motivasi untuk mencari program aspirasi.

"Meski terdakwa sebagai pelaku utama tapi dalam persidangan terungkap bahwa terdakwa bukan yang orang memiliki motivasi untuk mencari jatah program aspirasi tersebut dengan demikian hal tersebut dapat dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan dan kepada terdakwa akan diberikan hak-haknya sebagai justice collaborator," ungkap jaksa Tri.

Pemberian suap itu ditujukan agar Damayanti mengusulkan kegiatan pelebaran Jalan Tehoru-Laimu dan menggerakan rekannya sesama anggota Komisi V dari fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto agar mengusulkan kegiatan pekerjaan rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu di wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional IX (BPJN IX) Maluku dan Maluku Utara sebagai usulan "program aspirasi" anggota Komisi V DPR sehingga masuk ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Kementerian PUPR 2016 dan nantinya dikerjakan oleh PT Windhu Tunggal Utama.

Tawaran tersebut pertama datang dari Kepala BPJN IX Amran Hi Mustary pada September 2015 di hotel Le Meredien pada sela-sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi V dan Kementerian PUPR.

Sebagai tindak lanjut dilakukan beberapa kali pertemuan di Hotel Ambhara Jakarta Selatan, Oktober 2015 antara Damayanti, Dessy, Julia, Budi Supriyanto, Amran Hi Mustary, anggota Komisi V dari fraksi PKB Fathan dan Alamuddin Dimyati Rois serta beberapa staf BPJN IX. Amran menyampaikan adanya fee 6 persen dari nilai besaran program pembangunan kepada masing-masing anggota Komisi V DPR yang mau mengusulkan program tersebut sebagai "program aspirasinya".

Program aspirasi yang diusulkan adalah pelebaran jalan Tehoru-Laimu milik Damayanti senilai Rp41 miliar yang diberi kode 1E sedangkan rekonstruksi jalan Werinama-Laimu senilai Rp50 miliar dari Budi Supriyanto diberi kode 2D, namun program aspirasi milik Fathan dan Alamuddin tidak terdapat dalam daftar program aspirasi yang dikeluarkan Kementerian PUPR.

Atas tindakan tersebut, Abdul Khoir sebagai rekanan harus mengeluarkan total fee 8 persen dari besaran anggaran karena harus memberikan 1 persen untuk Dessy dan Uwi yang bertugas mengurus pembayaran fee milik Budi Supriyanto.

Uang fee sebesar 328 ribu dolar Singapura diberikan pada 25 November 2015 oleh Abdul Khoir kepada Damayanti, Dessy dan Julia di restoran Meradelima Kebayoran Baru selanjutnya dibagi-bagi dengan rincian untuk Damayanti sebesar 245.700 dolar Singapura sedangkan untuk Dessy dan Uwi masing-masing 41.150 dolar Singapura.

Abdul Khoir masih mengeluarkan uang Rp1 miliar pada 26 November 2015 yang disrahkan kepada Dessy. Uang itu selanjutnya diberikan kepada calon Walikota Semarang Hendrar Prihadi sebesar Rp300 juta, pasangan calon bupati dan wakil bupati Kendal Widya Kandi Susanti dan Gus Hilmi masing-masing Rp150 juta, Dessy dan Uwi masing-masing Rp100 juta dan Damayanti Rp200 juta.

Fee selanjutnya sebesar 404 ribu dolar Singapura diberikan pada 7 Januari di Foodcourt Pasaraya Blok M dari Abdul Khoir ke Uwi sebagai fee program aspirasi milik Budi Suriyanto. Namun Budi hanya diberikan 305 ribu dolar SIngapura karena sisanya sejumlah 99 ribu dolar Singapura dibagi 3 untuk Damayanti, Dessy dan Uwi.

Atas tuntutan tersebut, Damayanti akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada 7 September 2016.

Terkait perkara ini Dessy dan Uwi juga sudah dituntut masing-masing 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan sedangkan Abdul Khoir sudah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016