Jakarta (ANTARA News) - Berkat kebebasan informasi, salah satu buah dari Gerakan Reformasi 1998, orang bebas menyampaikan pendapat dan kritik, termasuk terhadap sistem ekonomi yang dilaksanakan pemerintah yang disebut-sebut menganut sistem kapitalisme, neo-lib, dan didominasi "asing" dan "aseng" (WNI keturunan Tionghoa).

Tulisan semacam itu banyak dan dengan mudah ditemukan dalam medsos (media sosial). Banyak seruan agar Indonesia kembali ke UUD 1945, terutama Pasal 33 untuk mengatur perekonomian nasional demi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Seraya menunggu hasil proses politik yang diperkirakan tidak gampang dan memakan waktu panjang, sebagai praktisi bidang informasi, saya mengusulkan program Radio Pasar sebagai salah satu wahana untuk mewujudkan sistem ekonomi pasar berkeadilan.

Radio Pasar adalah sebuah program radio yang tidak harus berwujud studio radio dengan pemancar dan frekuensi khusus yang mengudarakan siaran di pasar. Pasar di sini maksudnya adalah pasar tradisional, tempat rakyat berbelanja kebutuhan sehari-hari dulu, sebelum muncul departemen store, mall dan hypermarket, mini market dan pasar (bangunan) modern, sampai sekarang.

Program radio pasar bersifat "infotainment", yakni gabungan informasi tentang harga dan transaksi kebutuhan pokok dan hiburan seni-budaya lokal/daerah dengan melibatkan seniman-budayawan setempat.

Program ini bisa diselenggarakan di studio, pasar atau tempat umum lainnya, baik secara live maupun siaran tunda.

Tiga pelaku utama ekonomi pasar setempat, yakni produsen (petani, peternak, nelayan dan pengrajin), konsumen (yang seringkali juga produsen), dan pedagang dilibatkan dalam suatu dialog interaktif tentang harga dan transaksi jual beli bahan kebutuhan pokok dengan dipandu oleh penyiar sebagai "presenter" di studio lewat telepon dan atau langsung di situ (di lokasi).

Program Radio Pasar dimaksudkan untuk membuka informasi harga bahan pokok (beras, sayuran, ayam, ikan, daging, dan lain-lain) di tingkat produsen (kebun/sawah/ladang, tambak) dengan konsumen di rumah atau di pasar dengan pedagang pasar.

Tujuannya adalah agar produsen dan konsumen mengetahui harga dasar dan harga jual di pasar. Informasi harga yang terbuka diharapkan bisa memotong mata rantai perdagangan yang terlalu panjang yang mengakibatkan tingginya harga jual di pasar.

Peranan pedagang tetap penting dan tidak mungkin dihapuskan. Perlu diupayakan siaran Radio Pasar dapat berdampak transaksi langsung antara produsen dan konsumen dan pedagang pasar.

Tujuan akhir dari program ini adalah terciptanya sistem ekonomi pasar yang berkeadilan dengan harga yang wajar dan menguntungkan (fair prices) untuk produsen dan konsumen.

"Margin" akibat perbedaan harga dasar dan harga pasar selama ini lebih dinikmati oleh pedagang, bukan produsen, tetapi berdampak memberatkan konsumen. Sebagai contoh, harga cabe di kebun Rp6.500 per kg, di pasar dijual Rp56.000,-/kg. Harga apel di kebun tertinggi adalah Rp9.000 per kg, di pasar yang jaraknya hanya sekitar dua kilometer mencapai Rp50.000,-/kg.

Perbedaan harga itu terjadi karena beberapa faktor: biaya transportasi, sewa gudang, sewa lapak, biaya keamanan, pungutan liar, di samping keuntungan pedagang dengan mata rantai yang panjang, mulai dari pengepul yang mendatangi kebun, pengepul di kota (kecamatan), kabupaten-kota besar, dan pedagang di pasar.

Pernah disinyalir, mata rantai perdagangan beras mencapai sekitar 10 dan setiap mata rantai mengambil untung.

Menurut pakar ekonomi syariah (Islam), setiap mata rantai boleh mengambil untung 10-15 persen dalam setiap transaksi. Ini sah saja, tapi kalau mata rantai terlalu panjang, yang paling diuntungkan adalah pedagang.

Rasulullah, Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang pedagang dan pernah dikutip bersabda: "Sembilan dari 10 pintu rejeki ada di pasar (perdagangan).

Sistem ekonomi pasar yang berkeadilan bisa disebut sebagai sistem ekonomi pasar syariah atau sistem ekonomi Pancasila. Orang Jerman menyebutnya Sozialmarktswirtschaft, sistem eonomi pasar dengan kewajiban sosial.


Libatkan Media Lokal

Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) berdasar Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002 punya tugas melayani kepentingan masyarakat (publik), termasuk pemberdayaaan podusen, menjamin harga yang wajar bagi produsen dan konsumen dengan turut berperan membangun sistem ekonomi yang berkeadilan.

RRI wajib melaksanakan tugas itu sebagai bentuk tanggung jawab moral dan sosial karena telah dibiayai oleh uang negara (publik).

Berdasar Undang-Undang Penyiaran RRI sebagai LPP adalah mitra pemerintah, baik pusat, provinsi, kabupaten-kota, kecamatan dan desa. RRI adalah mitra, bukan bawahan dan juga bukan musuh pemerintah atas dasar saling menghormati tupoksi masing-masing. Pemerintah sebagai eksekutif, DPR/DPRD sebagai legislatif dan gabungan Pemerintah dan DPR/DPRD sebagai regulator yang mengeluarkan undang-undang dan perda perlu dilibatkan dalam program Radio Pasar.

Yang juga perlu dilibatkan adalah aparat keamanan (polisi), pengurus pasar, kuli angkut, para pedagang di luar pasar dan pemasang iklan, tokoh masyarakat, seniman/budayawan, anggota Pramuka dan relawan.

Mereka perlu diberi peran sebagai nara sumber, reporter dan presenter. Untuk itu sebagian dari mereka mungkin perlu dilatih dalam kursus singkat sebagai reporter, presenter dan nara sumber.

Untuk memperluas jangkauan siaran dan pengaruh, RRI perlu melibatkan radio-tv komunitas, koran komunitas/lokal, media sosial, LPP lokal/pemda dan lembaga penyiaran swasta setempat serta perwakilan media nasional yang memiliki biro/kantor perwakilan seperti LKBN Antara. RRI bertindak sebagai "hub" atau koordinator.

Sesuai ketentuan, radio/tv komunitas tidak boleh siaran berjaringan, di samping daya pancar mereka dibatasi, hanya untuk radius sampai sekitar lima kilometer dan tidak boleh memungut iklan.

Radio/tv komunitas, lembaga penyiaran lokal/pemda dan swasta dapat difungsikan sebagai kontributor (contributing station/studio) untuk RRI. Dengan demikian RRI tidak perlu keluar biaya besar untuk menambah relay station dan atau studio produksi sendiri serta menambah koresponden.

Bagi mereka, kerja sama dengan RRI berarti menambah jangkauan siaran: informasi lokal dapat meluas, menasional dan bahkan menggobal berkat jaringan RRI yang menyiarkan Radio Pasar melalui frekuensi RRI. Ini jenis win-win cooperation.

Kemudian perlu dibentuk Dewan Redaksi Radio Pasar yang dipimpin ex officio kepala RRI, tokoh pers setempat dan wakil dari masing-masing mitra kerja, minus wakil dari pemerintah dan pengusaha untuk menjaga independensi isi siaran Radio Pasar.

Jumlah anggota Dewan Redaksi Radio Pasar minimal lima orang, maksimal sembilan orang. Dewan Redaksi bertugas untuk merumuskan kebijakan redaksional Radio Pasar yang independenden. Penyelenggara (host) dan presenter Radio Pasar bisa bergantian antara RRI dan mitra kerja siaran.

Pelibatan seniman-budayawan lokal perlu untuk pelestarian seni-budaya di dalam acara di studio dan terutama di panggung pertunjukan.

Secara historis, pasar adalah pusat budaya, pusat pertemuan banyak orang serba multi: usia, jender, ras, suku bangsa, budaya, agama, ideologi dan partai politik. Dalam karya sastra dan lagu-lagu Barat dikenal istilah market place.

Dalam sejarah komunikasi massa, sebelum ada media massa, dikenal ungkapan "ujare mbok bakul sinambe woro" atau ujar ibu-ibu pedagang yang berjualan sambil menyampaikan informasi.

Pasar tradisional layak dikembangkan sebagai tujuan wisata, baik domestik maupun asing, karena di pasar tradisional tawar-menawar harga masih bisa berlangsung, sesuatu yang disukai ibu-ibu, di samping pasar merupakan pusat interaksi sosial serba lintas.

Radio Pasar pertama diluncurkan di Pasar Beringharjo, Yogyakarta tahun 2007, dilaksanakan oleh RRI Yogyakarta. Sesuai perkembangan jaman, Radio Pasar direvitalisasi tahun 2015 dan diluncurkan kembali dalam format baru oleh RRI Bogor pada Desember 2015.


*Penulis, Pemimpin Umum/Redaksi koran Republika (1993-2001), Pemimpin Umum/Redaksi LKBN ANTARA (1998-2000), dan Direktur Utama RRI (2005-2010)

Oleh Parni Hadi*
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016