Kairo (ANTARA News) - Sebelum Idul Adha atau Hari Raya Kurban, pedagang ternak Haasan Mohammed merasa kecewa sebab ia belum menjual satu unta pun.

"Sekarang musimnya, tapi mahalnya harga hewan kurban serta kondisi keuangan yang merosot menghalangi orang membeli hewan kurban untuk Hari Raya," kata pemuda yang berusia 24 tahun itu. Ia menggunakan bambu panjang untuk mengatur unta miliknya.

Mohammed, yang keluarganya mendominasi pasar unta Birqash di Giza, sekitar 35 kilometer dari Ibu Kota Mesir, Kairo, mengatakan permintaan pada tahun ini mungkin yang terburuk dalam beberapa dasawarsa, dan hanya tersisa dua pekan sebelum Idul Adha.

Mohammed merasa jenuh dan kecewa, sementara matanya memandangi ratusan unta di pasar besar tersebut, yang dikatakan sebagai pasar terbesar di Afrika, untuk mencari pembeli.

Tapi tidak mudah untuk menemukan pembeli di dalam pasar unta, tempat puluhan pedagang memukuli hewan-hewannya untuk membuatnya tetap berada di tempat mereka.

Idul Adha, Hari Raya Kurban, dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia untuk mengenang tindakan Nabi Ibrahim AS --yang nyaris menyembelih putranya, Nabi Ismail AS, sebagaimana diwahyukan Allah SWT.

Hari Raya Kurban, saat umat Muslim menyembelih kambing, domba, unta atau sapi sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan Allah SWT, jatuh pada akhir Ibadah Haji di Arab Saudi.

"Nyaris tak ada orang yang membeli. Orang datang untuk menanyakan harga lalu pergi tanpa membeli satu unta pun," kata Mohammed, sebagaimana dikutip Xinhua, Selasa. Ia duduk di antara untanya.

Mohammed menjelaskan mahalnya harga ternak disebabkan oleh kenaikan harga dolar AS di Mesir, sebab kebanyakan hewan diimpor dari negara lain.

"Sebagian besar unta ini didatangkan dari Sudan dan Somalia dan kami harus membayar dalam dolar," katanya.

Ekonomi Mesir telah bergejolak dalam lima tahun belakangan akibat ketidakstabilan politik, yang berpangkal dari dua aksi perlawanan rakyat --yang menggulingkan dua kepala negara.

Sementara itu, Bank Sentral Mesir telah menderita karena penurunan devisa luar negeri -- dari 36 miliar dolar AS pada awal 2011 jadi 17,5 miliar dolar AS pada akhir Mei 2016, dan devaluasi mata uangnya, peristiwa yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Pemuda tersebut mengatakan rakyat di Mesir sejak dulu selalu memilih untuk membeli unta untuk kurban sebab lebih murah dibandingkan dengan sapi dan kerbau.

"Tapi tahun ini, unta tidak murah sama sekali," katanya. "Harga rata-rata tahun lalu untuk satu unta ialah 7.000 pound Mesir. Namun, harganya tahun ini adalah 10.000 pound Mesir."

"Pedagang biasanya menjual ribuan unta lokal dan impor setiap hari. Anda tak bisa bayangkan bagaimana pasar ini kelihatannya beberapa bulan lalu. Anda nyaris tak bisa bergerak karena banyaknya penjual, pembeli dan unta," kata Mohammed.

Tak jauh dari Mohammed, Tareq Sameh dari Kairo sedang merundingkan harga satu unta muda dengan seorang pedagang ternak.

Tapi Sameh tidak senang bahkan ketika ia mencapai kesepakatan dalam tawar-menawar harga.

"Saya tidak sepenuhnya puas dengan harganya," katanya. "Sebagian unta dijual jauh lebih murah pada musim lalu."

Lelaki yang berusia 30-an tahun itu sebelumnya bermaksud membeli sapi, tapi harga anak sapi dan sapi dewasa meroket yang memaksa dia membeli unta, yang jauh lebih murah.

Sameh, yang memiliki toko telepon genggam, mengatakan ia masih bisa membeli hewan kurban meskipun harganya mahal, tapi ia percaya kebanyakan warga Mesir tak bisa membeli hewan di tengah kondisi ekonomi yang sangat sakit.

Menurut data resmi, rasio konsumsi daging merah di Mesir turun dari 75,4 persen pada 2000 jadi 74,3 persen pada 2013. Dan rata-rata harga daging merah naik sebesar 298 persen dalam 15 tahun belakangan.

"Saya harap pemerintah akan campur-tangan untuk menemukan penyelesaian yang tepat buat kenaikan harga hewan untuk membantu umat Muslim melaksanakan kurban," kata Sameh.

(Uu.C003)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016