Jakarta (ANTARA News) - Hari sudah terang, namun kabut masih mengambang di udara. Dari balik kecuraman lereng perbukitan di Desa Plaga, Kecamatan Petang, Badung, Bali, terlihat aliran Sungai Ayung mengalir di antara bebatuan besar.

Akhir bulan lalu, tim kami tiba di Plaga. Pedesaan Plaga termasuk hulu daerah aliran sungai (DAS) Ayung. Wilayah hulu DAS Ayung mencakup daerah Penikit (di Kecamatan Petang ke utara sampai daerah Kintamani), dan Plaga (Kecamatan Petang) yang dibatasi oleh punggung perbukitan hutan Puncak Mangu.

Wilayah hulu DAS Ayung Desa Plaga, terletak pada topografi yang berkemiringan hingga daerah yang sangat curam.

Pada kesempatan ini, Direktur Sustainable Development Aqua Grup Karyanto Wibowo menekankan bahwa sudah saatnya semua pihak untuk berkontribusi pada lingkungan demi menjaga pelestarian air.

"Makanya ada program Aqua Lestari, yang mengajak masyarakat Plaga sebagai hulu Sungai Ayung, untuk menjaga lingkungan alam. Misalnya dengan bertanam pohon atau menjaga pola hidup yang higienis. Dengan demikian, maka diharapkan kuantitas dan kualitas air Sungai Ayung akan selalu terjaga," ujarnya.

Menjaga Sungai Ayung amat penting maknanya, dikarenakan sungai ini merupakan urat nadi sumber air di Pulau Bali. Sungai Ayung menjadi pemasok utama air, mengingat secara administratif melintasi enam wilayah kabupaten.

Namun, problema menyusutnya debit air dan kian meningkatnya tingkat pencemaran, menjadi ancaman yang senantiasa membayangi sungai sepanjang 65 km ini.

Debit air Sungai Ayung konstan berkisar antara 6,6 hingga 14,2 m3 per detik ketika kemarau tiba. Namun belakangan, Sungai Ayung mengalami penyusutan debit air hingga sampai 60 persen.

Tidak mengherankan apabila Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali menyatakan Pulau Bali akan mengalami krisis air bersih pada tahun 2020, sehingga patut menjadi bahan kekhawatiran.

Padahal selama ini, sekitar 68 persen pengairan daerah pertanian Badung, Denpasar dan Gianyar dipasok dari air Sungai Ayung. Sungai Ayung mengairi 3.723 hektare persawahan yang tersebar di tiga wilayah kabupaten/kota tersebut.

Pada Kota Denpasar, Sungai Ayung mengairi persawahan seluas 1.128 hektare. Selain itu, Sungai Ayung mengairi sawah seluas 2.575 hektare di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar mengairi seluas 20 hektare.

Sementara untuk kepentingan air minum, aliran Sungai Ayung dimanfaatkan oleh PDAM Kabupaten Badung dan Kota Denpasar sebagai air baku, yang selanjutnya diproses lebih lanjut menjadi untuk air minum bagi masyarakat.

PDAM Kabupaten Badung memanfaatkan aliran Sungai Ayung pada titik pengambilan di Banjar Blusung, Desa Peguyangan Kangin, Kecamatan Denpasar Timur sebesar 500 m3 per detik.

PDAM Denpasar mengambil air Sungai Ayung di dua titik, yaitu titik pengambilan di Banjar Blusung sebesar 450 m3 per detik dan di Jalan Waribang melalui bendung terapung sebesar 100 m3 per detik.


Beasiswa Pohon

Program yang sedang fokus digencarkan Aqua Lestari pada pertengahan tahun ini sebagai langkah menjaga hulu DAS Ayung adalah beasiswa pohon.

Program ini ditujukan kepada warga yang memiliki pohon yang sengaja ditanam untuk tabungan keperluan anak bersekolah. Ketika tiba saatnya waktu tebang pohon karena anak membutuhkan biaya mau masuk sekolah, maka pihak Aqua akan mengganti harga dari pohon itu.

"Jadi warga itu diberikan uang kompensasi agar tidak menebang pohonnya. Kami akan memberikan uang seharga pohon itu, untuk keperluan anak bersekolah. Dengan demikian, anak tetap dapat melanjutkan pendidikan dan pohon pun terselamatkan. Meski ide dari kami, tapi akan berupaya melibatkan pihak-pihak lain untuk pendukung program beasiswa pohon ini," ujar Ida Ayu Eka Pertiwi Sari, CSR Coordinator Aqua Mambal.

Sebelumnya, Aqua Mambal telah melakukan penanaman pohon di Plaga dan Belok Sidan sejak tahun 2012 di lahan-lahan milik desa. Sejumlah warga pun mendapatkan bibit pohon untuk ditanam di lahan miliknya masing-masing. Hingga kini telah tertanam sebanyak 14.710 pohon di kedua desa tersebut. Jenis pohon yang ditanam ialah lenggung, albesia, bambu, gamelina, aren dan rajumas.

"Di dekat rumah, saya sekarang memiliki lahan dua hektare yang saya tanami 1.500 pohon. Bibit pohonnya ada yang merupakan bantuan dari Aqua Mambal. Kami juga diberi pupuk organik, agar tidak mencemari lingkungan," ujar Ketut Regug, salah seorang warga Banjar Bukian, Desa Plaga.

Menurut Regug, kesadaran masyarakat tentang menjaga lingkungan, tidak saja disebabkan oleh pertimbangan pentingnya memelihara hutan sebagai hulu Sungai Ayung. Namun juga disertai pertimbangan, sebagai upaya pengembangan wisata terpadu berbasis lingkungan di wilayah Plaga.

Di tempat yang sama, Made Sudarma selaku Ketua Pokja Ayung Lestari menyebutkan, selama ini orang hulu terkesan disuruh-suruh saja melakukan penanaman. Di lain pihak, masyarakat hilir yang mendapatkan hasil berupa limpahan air. Agar tidak terjadi ketimpangan peran dan mau menjaga hutan, hendaknya orang hulu diberi kompensasi supaya mendapatkan pasokan air yang cukup untuk kebutuhan kehidupan sehari.

"Jangan hanya Sungai Ayung ini hanya dipergunakan untuk kepentingan segelintir orang saja. Coba itu, banyak sekali paket wisata rafting. Di Badung dan Gianyar saja, ada 15 rafting yang legal. Kenyataannya banyak usaha rafting yang ilegal. Banyak juga hotel yang view indah karena dibangun di tepi Sungai Ayung, sehingga wisatawan bisa menikmati keindahan alam di sepanjang sungai," ujar Made Sudarma.


Kotoran Ternak

Selain menjadi objek rafting dan menjadi surga bagi wisatawan yang menginap di hotel dan vila sepanjang tebing Sungai Ayung, sayangnya sungai ini kian hari makin tercemari limbah.

Berlatar belakang atas keprihatinan terhadap peningkatan limbah di Sungai Ayung, menggerakkan Aqua Mambal melakukan pelestarian lingkungan dan sumber daya air.

"Salah satu program yang gencar dilakukan ketika mengawali kegiatan adalah water acces sanitation dan hygiene (WASH) yakni kegiatan pembangunan sarana air bersih dan pembangunan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM)," kata Karyanto Wibowo.

Penyuluhan dan pelatihan pun gencar dilakukan untuk mendorong masyarakat mempraktikkan perilaku sanitasi dan higienitas dalam kehidupan keseharian.

Pihak Aqua Mambal bekerja sama dengan Yayasan Janma, lantas melakukan pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Salah satunya mengimbau agar masyarakat meninggalkan praktik buang air besar sembarangan (BABS).

Imbauan ini dilakukan mengingat dampak penyakit yang paling sering terjadi akibat buang air besar sembarangan ke sungai adalah tersebarnya bakteri Escherichia coli, yang dapat menyebabkan penyakit diare. Selain penyakit, imbauan dilakukan sebagai upaya menjaga meningkatkan kualitas lingkungan alam sekitar.

Sementara itu, Ni Made Suyanti penduduk Bukian, Desa Plaga menyatakan, keluarganya telah menjalani kehidupan yang lebih praktis namun higienis dengan mengembangkan kompor biogas.

Menurut Suyanti, dahulu dia terbiasa masak menggunakan kayu bakar yang didapatkan dari kebun. Akan tetapi setahun belakangan ini, telah beralih menggunakan kompor biogas.

"Biogas itu didapatkan dari kotoran empat ekor babi yang kami pelihara. Melalui pipa, biogas itu dialirkan ke dapur saya dan dapur saudara. Jadi dengan empat ekor babi, bisa digunakan untuk dua keluarga," katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, keunggulan menggunakan api biogas, selain tidak menimbulkan pencemaran udara melalui asap, tak berbau, api berwarna biru, tidak panas meski dipergunakan berjam-jam dan tidak khawatir meledak. Hanya saja, kompor harus sering dibersihkan karena cepat kotor.

Setiap hari, sekitar 10 kg kotoran babi yang dipergunakan untuk bahan bakar kompor biogas dan selama ini tak pernah ada masalah.

Dia melanjutkan, kalau dulu di mana-mana kotoran ternak banyak ditemukan berceceran karena memang warga suka beternak sebagai tabungan yang dapat dijual jika ada keperluan mendadak. Bau kotoran ternak begitu menyengat hampir di setiap rumah warga.

Bercecerannya kotoran ternak, pun menimbulkan masalah kesehatan dikarenakan mengandung bakteri e-Coli yang bisa mengakibatkan penyakit diare dan penyakit perut lainnya.

Sementara itu, pada akhir acara peninjauan di Desa Plaga, Karyanto Wibowo menyatakan, menjaga alam merupakan kewajiban yang semestinya dilakukan dengan melakukan program terpadu untuk melestarikan lingkungan dan mengelola sumber daya air secara berkelanjutan.

Menjaga lingkungan dan sumber daya air, semestinya menjadi budaya yang terus dilakukan. Seperti yang terjadi dengan tindakan terpadu menjaga Plaga sebagai sebagai daerah hulu, diharapkan menjadi langkah untuk mengembalikan kejayaan Sungai Ayung seperti tempo dulu. Sungai yang berair jernih dan tak pernah surut airnya, sehingga tetap menjadi surga tersembunyi atau "hidden paradise" bagi penduduk Pulau Dewata.

--------------

*) Penulis buku dan artikel lepas, tinggal di Bali.

Oleh Tri Vivi Suryani *)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016