Ada benang merah yang merangkai teologi semua agama-agama yang dipeluk miliaran pengiman di permukaan bumi ini, yakni seruan mengenai nilai pengorbanan sebagai parameter dalam menakar kadar religiusitas.

Dalam Islam, nilai itu digaungkan, antara lain, lewat perayaan atas kemenangan Ibrahim mengalahkan nafsu diri saat menghadapi ujian dari Sang Pencipta yang menitahkannya untuk mengorbankan sang buah hati, Ismail.

Dalam Kristen, nilai itu diperlihatkan pada pengorbanan nyawa Kristus demi kasih kepada manusia.

Dalam Buddhisme, nilai itu diteladankan lewat kesadaran atas pengagungan pada yang metaduniawi dengan momen agung ditinggalkannya gemerlap nikmat duniawi istana demi nilai-nilai yang lebih esensial yang diraih lewat perenungan dan penyepian diri.

Dalam Hindu, nilai itu terefleksi lewat pengagungan laku asketis kaum brahmana yang menempatkannya pada skala tertinggi dalam tangga status kemanusiaan.

Berkorban adalah kata kerja intransitif yang bolehlah disetarakan maknanya dengan kata benda abstrak: pengorbanan diri. Konsep yang penuh muatan religius ini menjadi kian kontekstual dan relevan untuk kepentingan pemeliharaan nilai-nilai yang menjadi inti ideologi humanisme.

Kemenangan kapitalisme dalam jagat pertarungan ideologi politik dunia cenderung menggoda siapa pun untuk mengakumulasi kekayaan material tanpa batas. Moto bahwa keserakahan adalah kebajikan, yang pernah diucapkan seorang kapitalis kaya-raya dalam episode sinema gubahan sineas Hollywood, agaknya menafikan nilai yang diagungkan semua sistem iman.

Dalam konteks percaturan politik, pengorbanan bukan nilai tertinggi, terdepan, bahkan boleh dibilang tenggelam dalam gegap gempita adu kekuatan untuk merebut atau mempertahankan kuasa, yang menjadi sumber mendapatkan berbagai kenikmatan duniawi.

Seorang politikus yang bersemboyan bahwa pengorbanan adalah jalan untuk mengekspresikan eksistensi atau jati diri adalah sangat langka, kalau bukan tidak ada. Namun, tidak dimungkiri bahwa nilai pengorbanan itu muncul dalam momen-momen tertentu dalam diri siapa pun, termasuk politikus yang paling gila kuasa sekalipun.

Persoalan pengorbanan diri dalam konteks ketika perburuan materi menjadi ajang kompetisi yang kian seru agaknya bisa menggelincirkan pengambilan kesimpulan yang tergesa-gesa. Artinya, kemenangan kapitalisme tidak mesti kekalahan spiritualisme.

Dunia telah menyaksikan bahwa anak kandung kapitalisme yang paling sukses mengumpulkan kekayaan saat ini, pemilik perusahaan Microsoft, Bill Gates, menyelamatkan wajah kapitalisme dengan mencatatkan dirinya sebagai filantropis terbesar sepanjang sejarah.

Despot paling sukses mengeruk kekayaan dengan cara-cara yang biasanya haram dan bengis belum ada yang menandingi kedermawanan sang kapitalis yang murah hati itu.

Itu berarti bahwa sistem politik yang memberi ruang pada kapitalisme untuk hidup jauh lebih memungkinkan bagi lahirnya filantropis jika dibandingkan dengan sistem politik pesaing utamanya yang bernama sosialisme, yang tak menempatkan kemerdekaan individu sebagai landasan paradigmatiknya.

Tampaknya, kebajikan untuk mengekspresikan nilai pengorbanan diri perlu bingkai politik yang memungkinkan setiap individu untuk melakukannya secara sadar dan bertanggung jawab.

Di sinilah terjadi relasi dua variabel yang saling menopang antara kesanggupan individual untuk menunaikan titah Ilahi untuk berkorban dan ruang kemerdekaan untuk mewujudkan pengorbanan itu secara sadar dan bertanggung jawab.

Tanpa ruang kemerdekaan itu, pengorbanan bisa muncul karena dorongan rasa ketakutan atau keterpaksaan yang justru sangat tidak dikehendaki oleh Sang Khalik.

Sebenarnya, jika ditelisik lebih jauh dan dalam, ke mana muara selanjutnya dari seruan Ilahi yang terkonsep dalam frasa pengorbanan diri itu? Tak lain dan tak bukan adalah menuju nilai yang lebih tinggi, yakni keadilan buat sesama, yang jika ditelisik lagi akan sampai pada nilai kebahagiaan yang tak mencederai sesama.

Karena sistem politik tidak mungkin dapat mengendalikan berbagai variabel yang bisa diaturnya untuk mengawal manusia bisa berlaku adil yang seadil-adilnya, tidak ayal lagi, setiap orang akan memanfaatkan potensi kemampuan spiritual personalnya untuk berhadapan dengan lawan abadinya yakni ego dalam diri.

Hidup pada era sekarang ini bisa dikatakan sebagai hidup di tengah paradoks, yang jika dilakoni tanpa arahan religiusitas, akan menyeret individu ke lubang keserakahan dan ketakpedulian pada sesama.

Perlombaan untuk meraih hidup nyaman, penawaran kredit bawang-barang mewah yang tak putus-putusnya jika diikuti secara naluriah akan mengecilkan peluang untuk berempati, berbagi buat yang lebih membutuhkan.

Yang sering mengecoh seseorang untuk berat melakukan pengorbanan, antara lain, perasaan berkekurangan. Perasaan ini bukan monopoli dari mereka yang secara material memang berkekurangan.

Kisah seorang janda miskin yang menyumbang dalam kemiskinannya adalah antitesis atas fakta bahwa yang tak berkekurangan tidak selalu lebih mudah untuk berkorban.

Kaum spiritualis sejak lama telah menemukan jawaban atas pertanyaan: Hidup yang bagaimanakah yang bermakna? Hidup dalam pengorbanan. Dari sini bisa ditarik konklusi tak terbantahkan: Individu yang paling bermakna dalam hidupnya adalah orang yang paling banyak berkorban dalam hidupnya.

Pengorbanan adalah imperatif Ilahi yang menjadi simpul bagi bertemunya berbagai sistem iman yang dipeluk oleh miliaran manusia di muka bumi.

Pengorbanan dan religiusitas, dengan demikian, saling berkelindan.

Oleh M. Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016